Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Manusia Berakal Menurut Umar Ibn Khattab

Redaksi
×

Manusia Berakal Menurut Umar Ibn Khattab

Sebarkan artikel ini

Orang yang menasehatinya berarti telah menyelamatkan diri, kehidupan dan agamanya, serta membuat dirinya bahagia bukan hanya di kehidupan yang fana ini tapi juga di kehidupan yang kekal kelak.

Nasehat yang diberikan orang lain ketika kita berniat akan berbuat salah bisa mencegah kita benar-benar jadi berbuat salah.

Nasehat yang kita terima ketika kita telah berbuat salah menjadikan diri kita bisa mengetahui dan menyadari kesalahan kita, mencegah kita terus menerus melakukan perbuatan salah, serta bisa mendorong kita untuk bertaubat.

Sebagai analogi, jika suatu ketika kita berdiri di sebuah sawah dan di belakang kita ada seekor ular besar berbisa. Ular itu sudah siap akan menggigit kaki kita. Kita tidak mengetahui keberadaan ular tersebut. Pada saat itu ada orang lain yang berada di depan kita mengetahui ular itu.

Lalu dia memberitahukan kepada kita. Tentu kita tidak marah, tapi justru berterima kasih karena telah menyelamatkan diri dan nyawa kita.

Itu adalah sikap yang alami dan normal. Semua orang normal pasti bersikap demikian. Lain halnya dengan orang yang tidak normal alias kurang waras. Dia bisa bersikap tidak normal.

Diberitahu ada ular yang akan menggigitnya, bukannya berterima kasih, dia malah bisa marah-marah, menyerang dengan kata-kata dan secara fisik.

Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw orang lain adalah layaknya cermin bagi diri kita. Kita membutuhkan cermin untuk melihat wajah dan diri kita apakah telah berpenampilan pantas. Kita tidak bisa melihat wajah, kepala, dan tubuh bagian belakang kita tanpa cermin.

Ketika bercermin kita mendapati ada sesuatu yang tidak pantas pada wajah atau badan, kita tidak akan marah-marah pada cermin. Yang kita lakukan adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu penampilan.

Demikian juga halnya dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan orang lain untuk memberitahu sesuatu yang tidak pantas (aib) yang ada pada diri kita. Kita tidak bisa membaca dan melihat diri kita sendiri secara obyektif.

Ketika “cermin” itu mendapati dan memberitahu aib kita, selayaknya kita tidak marah-marah pada “cermin” itu. Yang perlu kita lakukan adalah menghilangkan aib yang kita miliki. Selain itu kita seyogyanya berterima kasih padanya yang telah sudi membaca dan memberitahu aib kita tanpa pamrih.