Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Manusia Modern dan Gagalnya Bidang Kesehatan

Redaksi
×

Manusia Modern dan Gagalnya Bidang Kesehatan

Sebarkan artikel ini

SAAT ini di belahan dunia, termasuk Indonesia sedang diuji pandemi Covid-19. Bidang perekonomian mengalam guncangan hebat. Meski bidang seperti teknologi informasi dan komunikasi semakin melaju cepat. Namun bidang kesehatan seperti mengalami kegagapan.

Saat ini Indonesia masuk dalam negara maju yang berusaha mewujudkan cita-cita untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Pandemi Covid-19 mengajarakan bahwasanya untuk mewujudkan cita-cita tersebut masyarakat harus sehat.

Sehat untuk menghadapi modernisasi yang terus berkelanjutkan. Akan tetapi modernisasi dengan perkembangan teknologi harus disikapi dengan hati-hati. Sebab terkadang akal sehat tidak mampu menangkal ramai dan riuhnya media sosial, media onlina maupun segala bentuk informasi yang justru membuat manusia berada di dunia lain.

Sehingga dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan, terutama jiwa manusia atau persoalan spiritual. Persoalan akan membesar muncul di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena kondisi buruk perekonomian dan arus informasi yang cepat membuat manusia mengalami guncangan jiwa. Penyakit-penyakit jiwapun muncul seperti depresi, stres, dan pola pikir yang kacau.

Kemajuan teknologi di era modern sekarang ini tidak diiringi dengan kemajuan bidang kesehatan. Sehingga dominasi rasionalisme, empirisme dan positivisme membawa manusia kepada kehidupan yang jauh dari nilai-nilai moral dan spiritual yang kering. Sayyed Hossein Nasr menanggapi keadaan ini sebagai The Plight of Modern atau nestapa orang-orang modern.

Apakah manusia saat ini sebagai manusia modern? Sebagaimana Auguste Comte tokoh peletak dasar aliran Positivisme, manusia modern adalah mereka yang sudah sampai pada tingkatan pemikiran positif. Kemodernan ternyata tidak ditunjukan di bidang kesehatan, hanya alat-alatnya saja yang nampak modern. Namun orang-orangnya masih mengalami krisis. Krisis untuk cepat menyelesaikan persoalan Covid-19 dan krisis spiritual untuk kembali merenungi anugerah Tuhan kepada manusia.

Muhasabah

Virus Corona jangan sampai merendahkan martabat manusia. Sebab manusia adalah pemimpin. Saatnya manusia menyadari pentingnya aspek esoteris (batiniah) atau spiritual di samping aspek eksoteris (lahiriah).

Namun pada kenyataannya aspek spiritual manusia masih tertinggal jauh dengan aspek lahiriah. Akibat tidak berimbangnya kedua aspek tersebut, menjadikan manusia kian materialistis dan individualistis. Sehingga menciptakan iklim yang makin kompetitis yang pada gilirannya manusia harus siap bersaing untuk menjadi buas, kejam, dan bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebagaimana pernyataan Tomas Hobbes, “Homo Homini Lupus Bellum Omnium Contra Omnes atau manusia menjadi srigala untuk manusia lainnya, berperang antara satu dengan lainnya.

Dampaknya sudah mulai nampak. Mulai bermunculan individu-individu yang gelisah, gundah gulana, rasa sepi yang tak beralasan bahkan sampai pada tingkat keinginan untuk bunuh diri. Keadaan ini tentunya sudah menyangkut pada aspek spiritual manusia dalam mengarungi kehidupan yang makin kompleks.

Saatnya manusia kembali kepada ajaran dan nilai-nilai yang agung atau luhur. Kembali bermunajat kepada Tuhan dan memohon ampunan supaya bangsa Indonesia mampu mengatasi persoalan ini. Mampu segera mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. (Luk)