SRIUS AMAT, AMAT AJA GA SRIUS..!
Oleh: Eko Tunas
Barisan.co – SAYA mengenal Martin sejak dia SD. Sebabnya, saya teman bapaknya, Markaban, perupa kontemporer dan pengelola grup FB Outsider Semarang. Di rumah bapak Martin, kami para om, kerap kongkow dan melihat Martin kecil asyik sendiri main robot-robotan.
Siapa sangka, Martin kecil jebul nguping para om dan bapaknya ngobrolin nasib tersisih dari ‘pusat kerajaan kesenian’ (di Jakarta) — siapa ngira itu tertanam sebagai dendam membarah..hahaha..! Belum tahu dia, Jekarte kalau diparanin yo gombal mukiyo.
Di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Martin remaja pada eranya adalah yunior para danyang TBRS, Amat dan Kukuh — dua nama yang disebut Martin di puisi ‘Syair TBRS Tergusur’ dalam buku Martin Suryajaya, Terdepan-Terluar-Tertinggal (3T) Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945 – 2045.
Baiklah saya turunkan dua baid puisi kesaksian TBRS Tergusur atau pembelaan terhadap para seniornya:
Amat di depan Perpusda
menatap nanar kepadaku
: “Kae… Kae…
Enam kancil trantib
mendekap di samping Nartosabdho
Alat-alat berat di siang samar
Bersicepat ke arah ringin
Pelukis Kukuh terlihat mengalami kesulitan
: bahunya dicengkam petugas
Penyair Kelana menarik kerah petugas
sebelum trantib lain memiting lehernya
Dari peristiwa dalam sajak itu perlu dicatat: mengapa Martin rela menjadi saksi bahkan mau membela om-om atau seniornya di Semarang, satu kota yang dalam biodata ‘penyair Lindu Aji’ dituliskan: sering dipandang pelaku seninya sendiri sebagai ‘kuburan kesenian Indonesia’.
Siapakah Lindu Aji. Martin benar, Lindu Aji adalah penyair Semarang — ya begitu itu penyair Semarang menulis puisi, bebas berbahasa sebab bagi mereka kata-kata merdeka, dan lebih dari itu: menulis puisi berdasarkan peristiwa.
Martin pun (dalam sajak ini) lebur menjadi Lindu Aji, menjelma penyair Semarang yang ‘menguburkan diri’ dari pesta kelatahan estetika nggak jelas para ‘penyair pusat’.
Bagi saya Semarang adalah nasib lain dari 3T. Bukan Tertinggal, atau Terdepan. Mungkin Terluar, dalam artian tidak Tertinggal dan nggak pateken tidak Terdepan. Walau beberapa penyair Semarang pernah menggugat ‘pusat’ dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Lalu who’s who Jekarte. Dalam pencariannya, Martin menyusup dan menjelma penyair Yusrizal. Dia menggunakan nama temannya di Semarang sebab risih menyebut nama aslinya. Martin pun terpaksa berubah jadi sombong dalam bahasa sekaligus arogan dalam kata-kata saat memetamorfosa sajak-sajak ‘penyair pusat’ paling ternama itu:
Rapat bergerak menuju kemacetan
Pada ruas-ruas arteri ke luar kota
Ke luar kota dalam lampu hutan
Hujan berjalan menghampiriku tenang
Tenang di tengah kolam di tengah jalan
Di situ
Martin pun terpaksa juga ikutan jadi kekanak-kanakan sebab dia harus melakukan salto mortal ala Yusrizal, jatuh dalam kejatuhan gaya puisi paling ambruk: personifikasi. Seperti yang tampak dalam puisi lanjut:
Di Birkenau tubuhku merasa di rumah. Sebuah April dalam jubah cokelat telah membukakan gerbangnya. Kaki membawaku menyusuri tembok tempat kecemasan telah menjadi desain ….. (dst)
Pemeo membangun sekaligus meruntuhkan di sini berlaku, saat Martin seakan membuat negasi bagaimana para penyair ‘pusat’ membuat gerombolan, dengan kepala begalnya Yusrizal. Bagaimana bahkan penyair wanita, Rina Novita Herliany membangun dirinya sebagai ‘ekor’ Yusrizal, sebagaimana ribuan penyair Terdepan yang mau dikanonkan dalam Gerombolan 100 penyair. Kita lihat saja kopat-kapitnya penyair ini:
perempuan dalam kurung spasi memikat basah malam koma
adalah sebuah tandatanya tidak ada yang memberi spasi tidak ada yang memberi spasi masuklah dalam tubuhku enter