BARISAN.CO – Sebanyak 101 kepala daerah akan mengakhiri masa jabatannya pada 2022, termasuk Gubernur DKI Jakarta, Bupati Aceh Besar, dan Walikota Yogyakarta. Sedangkan, yang habis masa jabatannya tahun 2023 berjumlah 170 kepala daerah.
Pemerintah pun kemudian membuka opsi menjadikan perwira TNI/Polri sebagai penjabat (Pj) pelaksana tugas (plt), pelaksana harian (plh) kepala daerah menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024.
Pengamat militer, Dr. Ade Muhammad menyampaikan keputusan tersebut akan mengulang dwi fungsi seperti era masa orde baru dahulu.
Menurut Ade, demokrasi bukan hanya mundur karena belajar dari pengalaman sebelumnya menghasilkan kegagalan dalam bernegara.
“Ini bukan salah, tapi terbukti gagal. Dan ini mau kita ulang lagi,” kata Ade dalam akun Youtube Elpris M. Zen, Kamis (18/11/2021).
Ade menjelaskan dari sisi filosofi terdapat dua domain yaitu domain sipil itu tunduknya kepada hukum sedangkan domain militer tunduknya dengan komandan.
“Yang satunya beragam, yang satunya seragam. Yang satunya bottom up, yang satunya top down. Jadi ketika unsur penghancur, TNI, militer itu unsur penghancur, lho, dan itu bagus sih di domainnya. Tapi kalau ditaruh di unsur pembangun, jadinya hancur,” papar Ade.
Lulusan ITB ini menambahkan secara etika seharusnya pengganti sementara kepala daerah tersebut Sekretaris Daerah (Sekda).
“Sekda tugasnya tunggal bukan ganda. Tugasnya melaksanakan program yang sudah ada. Dia bukan buat keputusan baru, lho!” tambah Ade.
Ia juga khawatir dengan masuknya TNI sebagai pengganti kepala daerah akan berakhir dengan perpanjangan jabatan Presiden.
“Saya dengar-dengar perlu adanya kekuatan dari militer, menjaga sebuah aspirasi, bahwa presiden 3 periode. Kemudian pos-posnya diduduki oleh militer. Karena pertama itu, dwi fungsi yang jangka pendek,” tutur Ade.
Ade mengingatkan bisa adanya masa perpanjangan apabila chaos terjadi. Sebab, menurutnya, kondisi status quo tidak boleh panjang, maksimal enam bulan.
“Kalau saya sih ngelihatnya kemungkinan besar mungkin bisa terjadi hal-hal seperti itu,” ujar Ade.
Ia juga menyebut adanya permainan politik. Baginya, skenario seperti ini akan kurang menguntungkan bagi sistem demokrasi. Selain itu, ia juga menyampaikan begitu pejabat digantikan oleh TNI, itu sudah tanda bahaya bagi demokrasi.
“Pak Andika (Panglima TNI terbaru) juga harus mempertimbangkan bahwa ga semua perintah politik itu benar. Ia harus memastikan posisinya, setia terhadap negara atau rezim,” tegas Ade. [rif]