Scroll untuk baca artikel
Blog

Matahari Televisi – Puisi Eko Tunas

Redaksi
×

Matahari Televisi – Puisi Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

MATAHARI TELEVISI

Kau keluar dari kamarmandi matahari
Apa bekalmu, selain underjurk merah marun
Lalu cerita tentang hidup di bumi bulat atau datar
Senyummu bulat untuk sepiring nasi, sop baso dan mendoan
Televisi masih menyiarkan berita tentang kekerasan dan korupsi
Apa ada manusia di sini, tanyamu kepada Zambo yang tetiba muncul di layar datar
Darah kami merah, jendral, dan rompimu oranye.

Mari kita sambut setiap mata di matahari
Apa pun kau kata, hidup mesti kita jalani di jalan kita
Bahwa kita tak pernah lupa segelas teh, toast bagi setiap berita
Bukankah semua sudah suratan redaksi dan suara penyiar
Lalu gambar-gambar yang selalu diulang tapi kita santap juga
Seperti cerita hidup, sejak revolusi hingga reformasi
Bahkan sebelumnya, dari Mataram hingga Mataram lama.

Adakah cerita tentang matahari yang bercerita
Seperti katamu, hidup dimulai dari cerita dan diakhiri dengan cerita
Serupa kamarmandi, sprai putih, sofa, dan televisi yang selalu menyiarkan berita
Sebagaimana dulu, cerita tak pernah berubah
Jadi mengapa mesti disesali, toh inilah arti hidup: bahwa kita ada
Menyaksikan berita di televisi, yang itu cerita tentang kita
Tentang darah dan airmata matahari.

Terserah mau menghidupkan televisi atau mematikan
Mengecilkan suara televisi untuk mendengarkan kata sayang di sidang dewan
Atau membesarkannya, agar kata-kata kita tak terdengar oleh wakil rakyat
Selamat siang mata matahariku, apa bekalmu selain kebenaran
Apa tujuanmu selain keindahan — tapi adakah keindahan di televisi, selain kemewahan
Ya, bisikmu, keindahan telah berubah menjadi kemewahan
Dan kita masih memperkarakan berita atau cerita.

Ada borgol di ibu jarimu jendral, dan ibu pertiwi terborgol mataharinya…

Semarang, 22 Agustus 2022

MATAHARI PONSEL

Lihatlah matahari di ponsel seorang jendral
Aku hanya sopirmu, katamu di seberang telpon
Tapi ini bukan sekadar pesan singkat tentang skenario
Terserah kita tulis lalu kita mainkan, atau kita mainkan baru kita tulis
Kita bagi peran masing-masing dengan bumbu sayur asam, ikan dan sambal terasi
Mari kita tunggu peran netizen, sebagai aktor atau sutradara
Ini gadged cerdas sepanjang abad berlari Malna, dan kita masih di mata matahari.

Hidup yang penting dilakoni, katamu, susah dan senang sama saja
Di dinding Brebes aku baca grafiti itu, mengingatkanku pada mural di Yogya
Lalu ponsel prabayarmu tertinggal di youtube mata matahari
Ponselmu pun berdering: halo, saya pesan obat kuat untuk bersetubuh dengan malam
Terjawab, di sini kami tergusur dari facebook karena melecehkan seorang jendral
Airmata matahari berlinangan di layar ponselmu.

Baiklah, kita selfie sebelum batere habis dalam mangkok sop baso
Terus saja mengemil mendoan dicocol kecap cabe rawit
Lalu mari kita kasih toast pada sang jendral
Ada berapa ajudan yang mengawal ibu pertiwi
Sekali lagi, aku hanya seorang sopir asal pantura
Tidak ada kata sayang, dan aku tak percaya pada kata cinta
Sebab cinta bagiku hanya penghalus napsu.

Halo apa kabar matahari, di sini kami berlinangan airmatamu
Karena rindu pada manusia di dalam ponsel sandiwara abad ini
Masih juga ada keluhan tetangga kurang air, sembako dan harga bensin
Atau siapa pilihan capres selain gambar viral dalam ponsel
Apakah semua akan terkalahkan oleh kanak yang bernyanyi dalam upacara bendera
“Ora usah dibanding bandingke, urip sadermo nglakoni suratan takdir”

Ini sepeda dari presiden untukmu, teruslah bernyanyi dalam ponsel
Si anak pun bertanya: nopo pak jendral nggih sekolah sambil bernyanyi, nopo cuma belajar nembak?

Semaran, 23 Agustus 2022

MATAHARI KAISAR

Kau berdandan serupa kaisar matahari
Bintang-bintang bertaburan di kaca jendela, bertemu dengan gedung-gedung metropolitan
Bagaimana, apa perlu sepatu larsa dan pistol perwira
Tapi kau masih ingin orgasmus politik penuh tak-tik
Lalu rakyat bertahan dalam derita atas struktur dan sistem
Hanya ada nasi basi dan sambel bawang tanpa terasi
Kerupuk mana kerupuk, dalam kaleng berbunyi nyaring.