BARISAN.CO – Apa pelajaran dan pengalaman yang paling penting dalam kehidupan Anda di sekolah? Apakah ketika Anda belajar tentang pengetahuan sosial, Anda juga belajar cara bersosial, apalagi kini ada banyak platform media sosial? Ketika Anda mengambil jurusan manajemen pendidikan Anda juga dibekali keterampilan mengelola, membuat keputusan, dan kemampuan berkolaborasi membangun jaringan?
Apakah ketika Anda lulus sebagai sarjana bahasa asing, Anda juga menguasai keterampilan menjadi komunikator bahasa asing dan dapat dipercaya menjadi interpreter bahasa asing tersebut? Apakah sepanjang Anda bersekolah difasilitasi keterampilan cara berkomunikasi yang baik dan berpikir lebih mendalam? Diajarkan bagaimana memahami teks dan menghubungkannya dengan situasi (konteks) kehidupan sekitar Anda?
Sebagai seorang praktisi pendidikan dan juga sekaligus Ayah dari anak yang menempuh belajar di sekolah, saya digelayuti dengan pertanyaan, “apakah anak saya atau anak-anak murid lain, benar-benar mendapatkan manfaat untuk kehidupannya dari bersekolah selama ini?”
Saya sering menjawab ragu dan merasa muak dengan berbagai apologi banyak guru. Menurut saya, sekolah dan guru tidak mempersiapkan dengan baik dan rasional dengan kebutuhan masa depan murid-murid mereka.
Fakta kemampuan lulusan lembaga sekolah saat ini
Coba mulai mengkritisi berbagai kebijakan dalam hal pendidikan, korelasinya terhadap kebijakan pemerintah yang berjalan beserta perubahan global yang hampir bisa dikatakan ‘unpredictable’. Selain dampak dari pandemi, kemampuan lulusan dari lembaga pendidikan tidak menunjukkan daya serap yang maksimal bagi dunia industri di Indonesia.
Indikatornya bisa merujuk kepada tingkat pengangguran yang tidak mengalami penurunan secara signifikan. Belum lagi kualitas SDM pekerja sebagian besar masyarakat kalah saing dengan pekerja asing, penyebabnya bisa karena minim kompetensi dan atau kebijakan politik yang pro asing.
Dikutip dari databoks.katadata.co.id, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,93 juta orang. TPT tertinggi pada Februari 2021 tercatat berada di perkotaan mencapai 8%. Sementara, TPT di perdesaan sebesar 4,11%.
Pandangan selama ini yang mengorientasikan lembaga sekolah dan perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang siap kerja tidak memberikan indikator yang koheren. Beberapa hal yang dianggap “salah” dalam sistem pendidikan nasional membuat kita jadi tidak memiliki pondasi yang kuat tentang arah generasi bangsa.
Kecenderungan campur aduk antara kepentingan politik, oligarki dan sistem pendidikan masih saya anggap latar belakang utama lemahnya pendidikan dan orientasi lembaga pendidikan (sekolah) sebagai ‘source of human capitals’ yang dibutuhkan bangsa pada persaingan global.
Kreatifitas lulusan pendidikan minim, kemampuan berpikir kritis kurang, literasi juga rendah dibanding negara berkembang lain. Jadi?
Kita harus me-reset keberadaan sekolah dan tujuan pendidikan.
1. Sekolah harus disiapkan untuk mengatasi tantangan kehidupan nyata
Ketika para murid memahami tentang keadaan dan tanggungjawab menghadapi tantangan kehidupan nyata, mereka akan berusaha menguasai berbagai hal sesuai kecerdasan dan minat mereka agar dapat menjalani masa belajar yang bermakna masa depannya.
Mereka belajar bukan sekedar untuk menghafal konten lama yang baku sebagai teori pengetahuan. Namun juga belajar beradaptasi dengan berbagai perubahan bersama perkembangan ilmu pengetahuan.
Sekolah menjadi laboratorium setiap anak belajar berbagai perubahan di lingkungan dan kehidupan global; perkembangan teknologi digital, akultutasi, serta disrupsi.