Megawati dan Jokowi telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai episentrum corak produksi kapitalisme global. Sebuah industri yang melahirkan korporasi dan birokrasi borjuasi yang ditopang oligarki.
NEGARA sekedar menjadi etalase distribusi modal dan pasar, sementara para pejabat dan politisi ereksi libido menjadi agen-agen kapitalis para cukong pengusaha.
Suka atau tidak suka terhadap Megawati, Jokowi dan Anies, ketiganya harus diakui sebagai figur yang tak pernah surut dari sorotan publik, setidaknya selama hampir delapan tahun ini. Pro dan kontra menyelimuti eksistensi ketiga tokoh berpengaruh yang berkelindan dengan keberadaan dan masa depan NKRI. Jejak rekam mereka terutama dari bagaimana kemunculan dan membangun proses politik dalam meraih panggung kekuasaan meski sekilas, menjadi sisi yang menarik diantara begitu banyak torehan sejarah pribadi yang dimiliki masing-masing.
Pilpres 2024 yang disinyalir menjadi ajang pertaruhan negara bangsa, sudah begitu menguras emosi dan energi rakyat. Belum juga dihelat, ajang pemilihan presiden lima tahunan itu, kali ini akan menjadi momentum strategis sekaligus titik balik keberlangsungan NKRI. Selain mencekam dan harap-harap cemas dari proses suksesi kepemimpinan nasional yang rentan rekayasa dan kecurangan itu. Mengapa demikian?.
Banyak yang beranggapan, pilpres 2024 nanti, menjadi semacam pertarungaan “to be or not tobe” bagi seluruh rakyat, apakah masih bisa melihat dan merasakan, atau tidak sama sekali adanya harmoni dan kelestarian konsensus nasional yang mewujud negara dalam bingkai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI.
Sebelum menuju pilpres 2024, Indonesia seperti berada dalam siklus sejarah mengulangi keadaan seperti menjelang peristiwa G 30 S/PKI atau disebut-sebut sebagai Gestok 1965. Peristiwa bersejarah yang tak terlupakan itu, begitu membekas dalam memori kolektif bangsa karena bukan hanya peristiwa politik dan transisi kekuasaan semata.
Lebih dari itu menjadi polarisasi dari pertarungan ideologi besar dunia, dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam peradaban manusia setelah perang dunia ke dua. Lepas dari polemik latar belakang dan politik subversif yang menyelimutinya, lengsernya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden RI, menyisakan kengerian politik dan babak baru politik Indonesia yang efek dominonya begitu dinamis dan terus berlanjut hingga saat ini. Termasuk setelah reformasi bergulir pun, anasir-anasir aliran politik dan ideologi masa lalu itu masih terus bergentayangan.
Indonesia yang tidak pernah lepas dari konflik internal baik secara horisontal dan vertikal bahkan sebelum mencapai kemerdekaannya. Setelah 76 tahun tak kunjung mencapai tujuan nasional, konflik seperti menjadi warisan abadi yang tetap terjaga, walaupun dipermukaan seolah-olah tidak ada masalah dengan kebhinekaan dan kemajemukan bangsa serta seakan-akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian.