BARISAN.CO – DKI Jakarta sempat menduduki peringkat atas di soal polusi udara pada 2019. Menjelang akhir 2020, intensitas gas-gas polutan diklaim berkurang.
Pada September 2020 lalu, Pemprov DKI Jakarta bahkan mengklaim pandemi COVID-19 membuat kualitas udara di Ibu Kota membaik. Kebijakan PSBB ditengarai telah mengurangi pencemaran kendaraan, langit menjadi cerah, dan pada gilirannya membuat kualitas udara 50 persen lebih baik dibandingkan tahun 2019.
“Karena pandemi Covid pada 2020, telah terjadi peningkatan kualitas udara di DKI. Ditandai dengan penurunan konsentrasi rata-rata PM2,5 bulanan dibandingkan 2019, yaitu mencapai penurunan (polusi) 14 sampai 50 persen,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Andono Warih, dalam sebuah webinar September 2020 lalu.
Meski demikian, kandungan polutan—termasuk tetapi tidak terbatas pada NOx, SO2, partikulat (PM), dan merkuri (Hg)—masih menyebar di atmosfer Jakarta.
Jika mengacu standar WHO yang menyebut bahwa jika partikulat halus (PM2.5) lebih dari 25 μg/m3 bertahan selama 24 jam di satu wilayah, maka sebetulnya, udara Jakarta belum sepenuhnya bisa dikatakan sehat sepanjang 2020. Alih-alih masih membahayakan kesehatan.
Hal senada tercatat dalam riset lembaga CREA (Center for Research on Energy and Clean Air), yang didapat dari pemantauan kualitas udara PM2,5 oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Diambil dari Stasiun Pemantauan Udara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. *Keterangan: 2020 hanya sampai bulan Mei.
Diketahui, Jakarta hanya mengalami 40 hari dengan kualitas udara yang “baik” pada tahun 2017. Tahun 2018 hanya memiliki 25 hari “baik”, berbanding dengan 77 hari yang tercatat “tidak sehat”.
Pada tahun 2019, jumlah hari tidak sehat meningkat menjadi 108, atau naik hampir 50% dari tahun sebelumnya. Pemantauan awal semester 2020 menunjukkan bahwa bahkan dengan PSBB sekalipun, kualitas udara dari bulan Maret hingga Mei tetap dalam tingkat “sedang” hingga “tidak sehat”, dan sama sekali tidak ada hari berudara “baik”.
Seterusnya, udara Jakarta melanjutkan tren tidak ideal ketika PSBB mulai dilonggarkan. Hal itu ditambah faktor musim kemarau (Mei hingga Oktober 2020) di mana biasanya kualitas udara memang cenderung buruk.
Grafik 2: Tingkat PM2,5 Rata-Rata Jakarta
Unit μg/m3, setelah disesuaikan dengan kondisi cuaca. Sumber: CREA berdasarkan OpenQA dan NOAA untuk normalisasi cuaca.
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta
Pada tanggal 6 Juli 2019, sejumlah pihak yang menyebut diri sebagai Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) menyampaikan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran yang ada di Jakarta.
Koalisi ini—terdiri dari Greenpeace, Walhi, dan LBH Jakarta—menggugat pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas polusi, yaitu: Presiden RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemprov DKI, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat.
Sebulan pasca gugatan dilayangkan, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menggelar sidang perdana citizen lawsuit ini tepatnya pada Kamis, 1 Agustus 2019. Di hari yang sama, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Instruksi itu memuat tujuh langkah mempercepat pengendalian kualitas udara di Jakarta. Salah satunya, Anies memerintahkan agar tidak ada lagi angkutan umum berusia di atas 10 tahun dan tidak lolos uji emisi beroperasi di jalanan Ibu Kota.
Guna menekan tingkat polusi udara di Ibu Kota, Pemprov DKI Jakarta berkala menggelar uji emisi gas buang kendaraan secara gratis sepanjang 2020-2021. Pelaksanan dilakukan bersama pihak kepolisian sekaligus menjadi sosialisasi soal pengenaan tilang dan sanksi sesuai peraturan tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor yang diteken Anies Baswedan. Ilustrasi: Dinas LHK Provinsi DKI Jakarta.