Oleh: Eko Tunas
(Budayawan)
Barisan.co – Buku puisi ini sampai juga di tangan, melalui jalan berliku. Penyairnya, Naning Scheid asal Semarang, tinggal di Belgia. Dikirimkan oleh penerbitnya, Penerbit Dunia Pustaka Jaya Bandung. Tidak tanggung-tanggung, inilah buku puisi dalam lima bahasa. Begitu berliku, entah apakah penyairnya memang berliku — mungkin ini judul berliku sebuah tulisan.
Yaa baca dululah, tanpa berliku-liku kata…
Sejak membaca sajak pertama saya tergiur hingga puisi terakhir. Dari “Alter Ego” hingga “Stanza Sianida”. 20 sajak. Tentu yang berbahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa, Inggris, Prancis, Belanda, tidak saya baca. Biarlah itu bagian pembaca yang berbahasa-bahasa tersebut.
Ketergiuran saya seperti makan rambutan Ungaran. Betapa bahasanya (majas atau diksi) ngelotok dan segar, sekaligus merupakan ‘buah’ yang akrab dengan kita-kita di siang panas dan pandemi corona.
Naning seperti tidak resah lagi dengan soal elementer kebahasaan atau estetika bahasa yang banyak dikejar para penulis puisi. Dia terasa rileks memungut setiap kata seperti bertebaran di sekitarnya. Sesekali surprise manakala dia memetik kata-kata dari bahasa asing.
Serileks itu pula kala dia menyikapi pengalaman hidupnya. Termasuk saat dia mesti melakukan pembugilan pengalaman pribadi. Rileks, tanpa beban. Bahkan terbayang langkah santainya saat dia harus melupa kenangan atau meninggalkan jejak rindu. Rileks pula saat dia bilang: Mulutmu separoh terbuka — menetes liur liur dan lidah yang acapkali meliuk-liuk di bibirku (Alter Ego, 17).
Juga dalam baid-baid ini:
Berdua terbang dalam gelora
Mencabik hasrat menggila
Langit putih menggambar liar
Percumbuan buas dua serigala
Hingga baid blakasuta:
Ketika jalan pulang adalah sesat,
kuingin terbang bersama lebih lama.
Sebab rinduku masih garang,
aku masih jalang!
(Di Langit Simpanglima, 23).
Penyair Melankolia ini seperti meyakini, puisi adalah pengalaman. Kalau engkau jujur mengungkap pengalaman maka di situ mukim puisi. Mengungkap pengalaman sampai kemungkinan paling tidak mungkin (bagi seumumnya orang). Sebab penyair ialah seniman dengan cara berpikir dan hidup paling jujur terhadap diri.
Sampai pada gilirannya, sang penyair mengalami semacam trans (lasim disebut: imanensi-transendensi), seperti ditunjukkan pada baid-baid berikut:
2/
Terbangun di ranjang raja
Selimut duvet — French kiss — Dahlia
Senyum rahasia; bunga mimpi menguar
: tahu gimbal, mie kopyok. Mekar sebelum fajar
3/
Petandang abadikan Grand Place, Manneken Pis
Aku, mencatat musim dalam album kenangan
Kompatriot bersua; cerita — tawa — afeksi
Hangat sebentar. Hambar. Hanya basa-basi
(Kapital Sentimental, 28).
Sampai yang trans spiritual, seketika larik menjadi teks:
Ketika Tuhan murka
Dia mengirim malaikat untuk terus mencatat
— mencatat terus mencatat
sampai kiamat
(Berliana, 18)
Sampai di sini saya ikut mengalami trans mau naik kuda macam jaran eblek, lupa bahwa saya tengah makan rambutan Ungaran. Masih juga saya menagih literasi, perpustakaan dengan ragam ilmu yang bahkan itu dibutuhkan bagi seorang aktor atau senirupawan.
Terlebih bagi penyair atau sastrawan yang bergulat dengan kata, antara makna dan rasa dalam giur rambutan Ungaran.
NB:
Puting susu Soewarni tinggal satu