Scroll untuk baca artikel
Kolom

Membaca Buku dan Hobi

Yayat R Cipasang
×

Membaca Buku dan Hobi

Sebarkan artikel ini
Membaca Buku dan Hobi
Ilustrasi foto/Pexels.com

Membaca termasuk hobi abstrak. Bukan fisik seperti hobi mobil atau hobi motor.

SEJAK Sekolah Dasar (SD) saya sangat suka baca. Baca apa saja dari buku anak-anak hingga bacaan orang dewasa. Dari mulai baca buku-buku sastra wajib terbitan Balai Pustaka hingga majalah Si Kuncung, Majalah Bobo, Majalah HAI, Majalah Kartini, Sarinah, Femina, Jakarta Jakarta, Matra hingga Koran Pikiran Rakyat.

Selama ini ada anggapan orang yang banyak baca pasti pintar. Serba tahu. Tidak juga. Atau minimal tidak sepenuhnya benar.

Membaca seperti galibnya hobi yang lain. Hobi motor gede, hobi bersepeda, hobi nonton film dan hobi piara hewan. Hobi yang sangat menyenangkan dan juga sama-sama mengeluarkan biaya.

Mungkin, hobi membaca biayanya saja yang paling murah dibandingkan hobi lain. Namun, belakangan hobi baca juga sangat mahal karena harga buku juga sekarang rata-rata di atas Rp100 ribu. Karena tidak semua buku yang kita inginkan ada di perpustakaan umum.

Apalagi perpustakaan umum milik pemerintah yang anggarannya terbatas nyaris seperti tumpukan buku bekas atau lawas. Mereka belanja bukunya tergantung APBN atau APBD. Jadi, buku-buku baru hanya ada di toko buku.

Membaca termasuk hobi abstrak. Bukan fisik seperti hobi mobil atau hobi motor. Membaca bisa sambil selonjoran atau sambil duduk di taman. Membaca hanya mengandalkan imajinasi dan perasaan. Karena itu mereka yang hobi membaca seperti sastra dan puisi mereka perasa, sensitif, lembut dan empatik. Membaca mengasah jiwa dan memperhalus budi.

Karena itu bila seorang pemimpin yang suka atau hobi membaca bisa dilihat dari perilaku dan kebijakannya selama memimpin.

Ketika dikritik tidak emosional, tidak reaktif. Tanggapan disalurkan dengan tulisan atau analisis di media sosial ataupun di media arus utama. Rakyat jadi ikut cerdas.

Ketika legasinya dirusak atau dinihilkan penerusnya justru yang marah adalah publik, komunitas atau kelompok yang selam ini merasakan manfaatnya.

Bagi yang hobi baca buku jenis kertas dan melihat kovernya saja sudah memberikan kesenangan tersendiri. Bahkan bau apak buku saja sudah semacam healing bagi seseorang.

Jadi buku tidak hanya untuk dibaca tetapi bisa saja hanya untuk dilihat dipegang atau hanya untuk tempat menyimpan sekuntum bunga hingga kering dan sekaligus menjadi pembatas buku. Sangat romantis kan?

Kalau ada orang berjalan atau di angkutan umum seperti TransJakarta, Commuterline atau di jalur pedestrian membawa buku jangan salah sangka. Mereka mungkin bukan untuk bergaya sok pecinta buku. Tapi mungkin hanya untuk sekadar menghangatkan bukunya yang lembab agar tidak berjamur.

Ohya, orang yang mencintai buku juga otomatis diikuti hobi menulis. Apakah dalam bentuk jurnal pribadi atau esai singkat. Sastrawan Taufiq Ismail pernah menyebut membaca dan menulis itu bak saudara kandung.

Orang yang hobi baca buku juga jangan sangka akan membaca habis sebuah buku. Tidak semuanya dibaca sampai tuntas. Bisa jadi hanya dibaca sebagian dan baru dilanjutkan bulan depan atau tahun depan. Atau kapan saja.

Saya selalu ingat pernyataan jurnalis senior Rosihan Anwar yang pernah mengatakan kira-kira begini, “Baca apa saja, mau mengerti atau tidak sekalipun apa yang Anda baca. Suatu saat mungkin bermanfaat karena hanya mengenal judul atau mungkin warna kovernya saja.”

Petuah Rosihan Anwar saya rasakan sendiri manfaatnya sekarang. Ketika akan menulis sebuah esai saya selalu mendapat inspirasi dari buku-buku lawas. Kadang saya hanya ingat judulnya atau kovernya. Dengan petunjuk itu, buku dengan mudah diperoleh di perpustakaan.

Saat SD saya pernah membaca cerpen Bondan Winarno berjudul “Mantel Bulu” di Majalah Femina. Cerpen yang sangat menarik saat itu karena menjadi pemenang Sayembara Cerpen Femina tahun 1985. Namun, sayang saya baru baca setengah jalan majalah kakak saya sudah dipinjam orang dan tak pernah kembali.