Diskusi di aula Bhakti Ibu pun kian seru. Ya, saya merasakan diskusi saat itu, 14 Maret 2019, berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Nyaris semua yang hadir mengajukan pertanyaan, dan refleksi-refleksi kecil. Mereka mengungkapkan kegalauan. (Dalam hati saya bersyukur, ternyata tidak hanya saya yang tesergap galau. Lumayan banyak yang senasib. Hahahaha….)
Ellen meneruskan keseruan obrolan, pagi itu, dengan mengajukan pertanyaan, “bolehkah orangtua menetapkan ekspektasi yang tinggi pada anak?”
Teman-teman pun ragu untuk menjawab. Hingga kemudian, “ada riset,” kata Ellen, “anak homeschooling bisa meraih karir lebih cemerlang karena perhatian dan ekspektasi yang tinggi dari orangtua.”
Nah, jelas sudah, kita bisa menetapkan ekspektasi. Namun, tetap kudu hati-hati! Sebab ekspektasi bisa abused. Sebaliknya, tanpa ekspektasi akan chaos. Lantas? Itulah seninya. Kita mafhum, seperti halnya hukum alam, untuk berkembang kita harus melawan entropi. Nah, ekspektasi merupakan upaya menarik anak tidak menyerah jatuh dalam entropi.
Oleh karenanya, guna menghindari abused, saat menetapkan ekspektasi kita harus memiliki cukup pengetahuan tentang kodrat anak. Dengan mengenali kodrat anak secara spesifik, niscaya kita tidak salah menjabarkan ekspektasi. Kita pun bisa menikmati proses. Sebab kita tidak akan terlena atau hanya fokus pada hasil.
(Jujur, saya terperenyak setelah menoreh kata “ekspektasi”, “abused”, dan “proses”. Sungguh saya harus terus berefleksi. Saya belum sepenuhnya sabar menikmati proses belajar anak.)
Selanjutnya, pembahasan berkembang tentang sugesti. “Sugesti bekerja lebih halus lagi,” kata Charlotte. Terlebih manusia, dalam kodratnya, gampang disugenti. Dan memang, kita dikelilingi oleh sugesti. Kita kerap melakukan sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan tersugesti. Lantaran tren. Lantaran banyak yang melakukan. (Ah, jangan-jangan saya memakai metode CM ini juga karena tersugesti. Hehehe….)
Tidak ada manusia, yang hidup tanpa sugesti. Tinggal porsinya yang membedakan. Akan terus larut, dan menikmati yang serbacepat. Atau segera sadar, dan berwaspada. Sebab kita, terutama anak, yang terlampau asyik terjerat sugesti, sama artinya dengan menggadaikan kemerdekaan. Lantas, bagaimana kita memberi kesempatan anak untuk melakukan apa yang sepatutnya dikehendaki? Tidak bisa tidak, kita harus menyajikan ide-ide terbaik dan banyak sebagai asupan mentalnya.
Singkat kata, sugesti tidak sendirian. Ia memiliki saudara dekat, yaitu karisma. Ia laksana atmosfer. Ia bekerja tanpa kata-kata. Kita, dengan mudah, melakukan sesuatu karena pengaruh idola, sosok berkarisma. Seperti sugesti, karisma juga bisa merampas kemandirian, kemerdekaan. Kepribadian kita, terutama anak, akan gagal berkembang. Lalu? Ya, kita cegah dengan membiasakan anak bertanya. Termasuk mengkritik apa yang kita kerjakan.