BARISAN.CO – Ketika setiap orang harus menunggu giliran dalam antrean untuk mendapatkan sesuatu, nyatanya tidak semua orang sabar untuk mengantre.
Padahal, mengantre sendiri tidak bisa dihindari oleh semua orang dalam kehidupannya, bahkan hanya untuk sekedar bergantian melintasi jalan saat macet, membayar belanja di kasir, mengisi bahan bakar di pom bensin, dan beberapa kejadian lain, semua orang mau tidak mau harus mengantre.
Uniknya lagi, satu orang tidak mau mengantre dapat menular ke orang lain. Sebab, seseorang lebih sebal antreannya diserobot daripada mengantre.
Sehingga, ketimbang lama menunggu giliran tetapi antreannya diserobot maka ia akan lebih memilih untuk berebut daripada bergantian.
Mengantre Membentuk Kedisiplinan
Queue Culture atau budaya mengantre adalah salah satu budaya yang dapat membentuk kedisiplinan seseorang. Bahkan, menurut Mark N. Wexler dalam “Re-Thinking Queue Culture”, budaya mengantre mempunyai arti penting bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa.
Ia dapat menjadi tolak ukur kepatuhan masyarakat terhadap aturan dan norma di negaranya. Sebab, bangsa yang membiasakan budaya mengantre akan memiliki kesadaran dalam mematuhi aturan dan norma, ada atau tidak ada pihak yang mengawasi.
Lantas, bagaimana sebuah bangsa bisa mempunyai budaya mengantre? Jawabannya, “bisa karena terbiasa”. Menurut dokter ahli bedah syaraf, Ryu Hasan, budaya antre bisa terlaksana dengan pembiasaan sejak dini. Oleh sebab itu, orang yang sudah terbiasa dengan budaya mengantre, tanpa pengawas sekalipun akan tetap melakukannya.
Sementara itu, selain membentuk sikap disiplin, budaya mengantre juga menumbuhkan sikap untuk menghormati orang lain sekaligus menekan ego untuk mau membaur dalam kesetaraan supaya antrean tetap tertib walau tidak ada penjaga.
Pelajaran dari Budaya Mengantre
Pertama, belajar datang tepat waktu. Apabila ingin mendapat giliran awal maka datanglah tepat waktu. Mengantre mengajarkan kedisiplinan untuk tepat waktu, karena kalau terlambat jangan berharap mendapat giliran yang paling awal.
Kedua, belajar untuk sabar dan sadar. Ketika menunggu giliran saat mengantre, seseorang mau tidak mau harus rela sabar menunggu dan sadar untuk setiap tahap demi tahap sampai gilirannya tiba.
Ketiga, belajar lapang dada. Tak kalah penting dari sabar untuk menunggu giliran saat mengantre adalah dengan lapang dada mendahulukan antrean kepada orang-orang prioritas, seperti lansia, ibu hamil, orang sakit, dan penyandang disabilitas. Dalam mengantre juga dibutuhkan kebijksanaan untuk bersikap adil dan lapang dada.
Keempat, belajar arti kesetaraan. Budaya mengantre memberikan pelajaran tentang arti keseteraan. Tanpa memandang kaya atau miskin dan juga pangkat, seseorang tetap harus mengantre dalam barisan. Karena “siapa cepat dia dapat”.
Uniknya, meski tak ada yang menampik bahwa budaya mengantre menyimpan banyak manfaat dan juga bukan perkara yang sulit untuk dilakukan. Namun, masih ada saja yang malah menyepelekan budaya mengantre ini.
Banyak dari orang-orang yang menyerobot antrean dengan dalih ‘buru-buru’. Lantas, apakah orang yang mengantre itu adalah orang yang tidak buru-buru? Sejatinya semua orang yang mengantre itu juga ‘buru-buru’ dengan rutinitasnya masing-masing. Maka dengan begitu semua orang seharusnya tidak ada yang menyerobot antrean. [rif]