“Anak sudah mau belajar Al-Quran, mau ibadah, itu harus didukung. Sehingga, kalau anak senang mainan, ya kasih aja mainan! Supaya anak tidak kecewa. Sebab yang bakal meneruskan tauhid itu anak.” tandasnya.
Gus Baha mengutip rintih Nabi Zakaria, “Aku sangat khawatir akan keluargaku sesudah kutinggalkan karena istriku mandul, berilah aku keturunan dari karunia-Mu. Seorang pewaris yang akan mewarisi aku, dan mewarisi keturunan Yakub dan jadikan dia ya Allah, orang yang diridai.” (Maryam: 5-6).
Doa Nabi Zakaria yang meyakinkan kita bahwa anak memang pewaris kalimat tauhid. Lebih lanjut, Gus Baha menyebut bahwa amal saleh yang dilakukan anak sendiri jauh lebih memberi pahala bagi kita, ketimbang amal saleh dari santri atau murid.
“Santri itu orang lain, paling mereka hanya kirim fatihah. Atau ketika hati mereka gusar, baru mereka mencari kuburanmu. Itu juga kalau hati mereka sedang gusar. Kalau anak, baik dia niat mengirim fatihah untukmu atau tidak, selama dia beramal saleh maka otomatis pahalanya akan mengalir ke kamu.” seloroh Gus Baha meyakinkan.
Kemudian, Gus Baha mengutip lagi ayat, “Hai Yahya, ambillah Kitab (amalkan) dengan segala kekuatanmu, dan Kami telah memberikan kepadanya kearifan semenjak kecil, dan dilimpahkan kasih sayang dari Kami kesucian. Ia seorang yang penuh takwa.” (Maryam: 12-13).
Ulama asal Rembang itu menekankan kata “hananan”, bahwa “terlimpah kasih sayang” di situ bermakna sifat aris, sifat senang dan tercipta suasana nyaman. Jadi hubungan anak-orangtua itu mesti nyaman. Tapi, nyaman yang terikat oleh kalimat tauhid, bukan lantaran nafsu.
“Jadi, di antara adabnya para nabi itu adalah memuliakan anak. Karena anak itu yang kelak lebih panjang waktunya untuk membawa kalimat tauhid.” simpul sang gus kondang itu.