Scroll untuk baca artikel
Kolom

Mencegah Kematian Demokrasi di Pilgub DKI 2024

Redaksi
×

Mencegah Kematian Demokrasi di Pilgub DKI 2024

Sebarkan artikel ini
Achmad Fachrudin

Terkait dengan tahapan penyelenggaraan, Bawaslu DKI memberikan skor rendah. Yakni: untuk indikator keberatan dan/atau sengketa proses Pemilu/Pilkada dengan isu sengketa proses (23,08), putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang ditujukan kepada jajaran KPU dan/atau Bawaslu DKI (10,42), serta rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu DKI yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU DKI (8,33).

Penolakan Calon dan Calon Tunggal

Diantara tahapan yang masuk kategori tinggi menurut Bawaslu DKI adalah tahapan kampanye dengan indikator himbauan dan/atau tindakan untuk menolak calon tertentu dari tokoh/kelompok tertentu dengan isu penolakan calon. Jadi, Bawaslu DKI memasukan isu penolakan terhadap calon tertentu pada tahapan kampanye. Dan bukan pada tahapan pencalonan atau kandidasi. Tentu saja Bawaslu DKI mempunyai latar belakang, alasan atau argumen dengan metode penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan dengan memasukan isu pencalonan dalam tahapan kampanye sebagai kerawanan tingkat tinggi.

Realitasnya, potret kerawanan yang disigi oleh Bawaslu DKI menampakan empirik atau konkrit. Sebab, belakangan ini kontelasi politik di Pilgub DKI yang tengah trending topics mengarah kepada penolakan secara sistematis terhadap Anies Rasyid Baswedan sebagai calon Gubernur (Cagub) DKI di Pilgub DKI 2024. Indikasinya setelah Partai Golkar memutuskan mendorong Dedi Mulyadi sebagai Cagub Jawa Barat.  Dengan langkah tersebut, membuka peluang Ridwan Kamil (RK) dicagubkan di Pilgub DKI.

Bersamaan pencalonan RK di Pilgub DKI, Partai Golkar berusaha mengkapitulasi dukungan  politik dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun dari Koalisi   Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang kemudian disebut Koalisi KIM Plus. Yang dimaksud KIM Plus adalah indikasi masuknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke KIM Plus. Sebelumnya terindikasi mendukung Anies sebagai Cagub DKI lalu balik arah  bergabung mendukung RK. Dan bisa pula ke depannya atau rewardnya  masuk Kabinet Presiden Prabowo Subianto.

Sebenarnya manuver politik Golkar dengan KIM plusnya sah-sah saja dilakukan manakala dengan langkah tersebut makin mendorong terwujdnya Pilgub DKI yang makin kompetitif dan demokratis.  Tetapi manakala dengan mendorong RK ke Pilgub DKI dibarengi dengan manuver politik sistematis mematikan kompetisi politik yang demokratis dan  sehat,  apalagi hingga menyisakan RK menjadi calon tunggal. Lalu berhadapan dengan kotak kosong, merupakan problem politik dan demokrasi sangat serius yang mesti diwaspadai.

Soal calon tunggal, mengacu UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, tidak secara eksplisit diatur. Yang diatur adalah syarat pencalonan kepala daerah melalui partai politik (Parpol) atau gabungan parpol harus memiliki kursi minimal 20 persen di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, parpol maupun gabungan parpol bisa mengajukan calon kepala daerah dengan menggunakan gabungan perolehan suara parpol sebanyak 25 persen.

Dengan kata lain, Parpol yang hendak mengusung Cagub dan Cawagub di Pilgub DKI membutuhkan  22 kursi. Apabila PDI Perjuangan  yang hanya memiliki 15 kursi di DPRD DKI hasil Pemilu Legislatif 2024 tidak memiliki tandem koalisi, maka dapat dipastikan hanya ada satu pasangan Cagub dan Cawagub pada Pilgub DKI  Jakarta, yakni berasal dari KIM “Plus”. Jika hanya satu Paslon Cagub dan Cawagub, berarti akan bertarung dengan kotak kosong di Pigub DKI 2024.

Ekspektasi dan Perlawanan

Jika skenario mencagubkan RK dengan lawan tanding yang tidak berimbang. Misalnya minus Anies atau Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang oleh banyak Lembaga Survei diunggulkan, dan apalagi RK harus bertanding dengan kotak kosong, tak pelak merupakan tragedi demokrasi. Atau tepatnya kematian demokrasi,  dalam istilah Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku .“How Democracies Die” yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Bagaimana Demokrasi Mati” , terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019.