Bersamaan pencalonan RK di Pilgub DKI, Partai Golkar berusaha mengkapitulasi dukungan politik dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang kemudian disebut Koalisi KIM Plus. Yang dimaksud KIM Plus adalah indikasi masuknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke KIM Plus. Sebelumnya terindikasi mendukung Anies sebagai Cagub DKI lalu balik arah bergabung mendukung RK. Dan bisa pula ke depannya atau rewardnya masuk Kabinet Presiden Prabowo Subianto.
Sebenarnya manuver politik Golkar dengan KIM plusnya sah-sah saja dilakukan manakala dengan langkah tersebut makin mendorong terwujdnya Pilgub DKI yang makin kompetitif dan demokratis. Tetapi manakala dengan mendorong RK ke Pilgub DKI dibarengi dengan manuver politik sistematis mematikan kompetisi politik yang demokratis dan sehat, apalagi hingga menyisakan RK menjadi calon tunggal. Lalu berhadapan dengan kotak kosong, merupakan problem politik dan demokrasi sangat serius yang mesti diwaspadai.
Soal calon tunggal, mengacu UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, tidak secara eksplisit diatur. Yang diatur adalah syarat pencalonan kepala daerah melalui partai politik (Parpol) atau gabungan parpol harus memiliki kursi minimal 20 persen di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, parpol maupun gabungan parpol bisa mengajukan calon kepala daerah dengan menggunakan gabungan perolehan suara parpol sebanyak 25 persen.
Dengan kata lain, Parpol yang hendak mengusung Cagub dan Cawagub di Pilgub DKI membutuhkan 22 kursi. Apabila PDI Perjuangan yang hanya memiliki 15 kursi di DPRD DKI hasil Pemilu Legislatif 2024 tidak memiliki tandem koalisi, maka dapat dipastikan hanya ada satu pasangan Cagub dan Cawagub pada Pilgub DKI Jakarta, yakni berasal dari KIM “Plus”. Jika hanya satu Paslon Cagub dan Cawagub, berarti akan bertarung dengan kotak kosong di Pigub DKI 2024.
Ekspektasi dan Perlawanan
Jika skenario mencagubkan RK dengan lawan tanding yang tidak berimbang. Misalnya minus Anies atau Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang oleh banyak Lembaga Survei diunggulkan, dan apalagi RK harus bertanding dengan kotak kosong, tak pelak merupakan tragedi demokrasi. Atau tepatnya kematian demokrasi, dalam istilah Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku .“How Democracies Die” yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Bagaimana Demokrasi Mati” , terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019.