Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Mendesain Moral Ekonomi Baru untuk Cegah Pandemi Berikutnya

Redaksi
×

Mendesain Moral Ekonomi Baru untuk Cegah Pandemi Berikutnya

Sebarkan artikel ini

“Negara berkembang masih minim ‘awareness’ dibandingkan negara-negara maju. Di negara majupun sebetulnya pendekatan ESG juga masih berproses. Tetapi posisinya telah lebih dominan mengingat banyak korporasi, indeks-indeks saham internasional, dan dana-dana pensiun yang mulai mengadopsi ESG Investing.” Kata Farouk.

Sebetulnya, imbuh Farouk, pemerintah dapat memainkan perannya. Jika kesadaran pemerintah sudah besar untuk menciptakan lingkungan bisnis yang berorientasi ESG (bisa melalui penciptaan regulasi yang memihak ataupun insentif fiskal), maka implikasinya akan sangat signifikan.

“Bisnis yang tadinya tidak mempunyai kesadaran, otomatis akan terbuka kesadarannya karena ada direct benefits untuk mereka jika menerapkan praktik ESG investing.”

Moralitas Baru

ESG Investing agaknya patut dipertimbangkan sebagai moralitas baru dalam menjalankan sebuah ekonomi. Atas perhatiannya yang besar pada lingkungan, praktik ekonomi berkelanjutan demikian dinilai lebih tangguh jika dihadapkan pada krisis ataupun pandemi, dibanding pengelolaan ekonomi kapitalistik yang sekarang menjadi arusutama.

Lebih dari itu, Farouk Alwyni menyebut ESG Investing lebih menguntungkan bagi masyarakat banyak. Sekurang-kurangnya, jika pemerintah menghendaki, “Pendekatan berbasis ekonomi berkelanjutan ini punya kemampuan untuk mengoreksi praktik kotor korporasi besar yang dimiliki pebisnis bermental ‘kapitalis primitif’,” Katanya.

Tentu akan menjadi kebutuhan penting untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar berkomitmen dalam hal ini.

Apalagi, melihat dunia dalam dua dekade terakhir, tampak bahwa ekonomi arusutama memang tidak pernah ramah lingkungan. Justru sebaliknya, pola ekonomi kapitalistik telah banyak menyederhanakan kompleksitas menjadi angka-angka kering, dan dengan itu, menggencarkan pasar dengan mengabaikan kepentingan manusia, sosial, dan lingkungan dan alam.

Bahkan, dorongan ekonomi kapitalistik—sebagaimana telah banyak disebut—telah memicu bermunculannya zoonosis seperti HIV, flu babi, SARS, zika, dan ebola.

COVID-19, yang muncul belakangan, pun punya kemiripan dengan zoonosis pendahulunya: ia muncul akibat kecacatan inheren di dalam model produksi, di mana, atas nama profit, telah sedemikian mendekatkan manusia pada binatang-binatang liar yang semestinya berjarak. Pada gilirannya, binatang itu memindahkan patogen berbahaya di tubuhnya ke dalam tubuh manusia.

WHO membenarkan ini: diperkirakan 61 persen dari semua penyakit menular manusia berasal dari zoonosis, sedangkan 75 persen penyakit menular baru yang ditemukan dalam dekade terakhir adalah zoonosis.