BARISAN.CO – Bank Dunia merilis laporan teranyar berjudul ”Global Economic Prospect” Januari ini. Diprediksi, setelah carut-marut yang menyebabkan kontraksi 4,3 persen di tahun 2020, ekonomi dunia akan bergerak ke sumbu positif sekitar 5,3 persen di tahun 2021.
Namun masih ada catatan kaki. Betapapun dikerangkai dengan optimisme, laporan itu menyebut segalanya masih dapat terjadi, tergantung penanganan COVID-19 negara-negara dunia, serta efektivitas vaksin yang sudah mulai digunakan.
Dengan asumsi demikian, jelas ketidakpastian masih akan berlanjut di 2021. Bedanya, tahun ini dunia telah memiliki modal yang kondusif untuk mencegah krisis semakin parah.
Menarik mencermati sejumlah analisis yang mengemuka. Pengalaman tahun lalu agaknya telah dipandang sebagai cermin utama untuk menyusun model ekonomi baru. Dalam konteks lebih jauh, sejumlah kalangan bahkan menyerukan pentingnya melakukan perubahan mendasar, yang memungkinkan sebuah ekonomi lebih tangguh menghadapi krisis maupun pandemi di masa berikutnya.
Dalam pada itu, Ketua Center for Islamic Studies in Finance Economics and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni, menyebut perlunya mengubah fokus investasi pada beberapa sektor, dengan memanfaatkan pendekatan ekonomi berkelanjutan, seperti ESG Investing (Environmental, Social, and Corporate Governance Investing).
“ESG Investing bisa menjadi salah satu kontributor untuk menciptakan model produksi yang lebih kondusif bagi kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya, yang tentunya akan berkontribusi meminimalisir potensi kemunculan pandemi berikutnya,” kata Farouk Alwyni saat dihubungi Barisanco, Kamis (21/1/2020).
Tantangan
Berdasarkan laporan McKinsey 2019, ESG Investing telah mengalami lonjakan drastis, mencapai US$30 triliun, atau meningkat 10 kali lipat sejak 2004. Di AS saja, diperkirakan 26% dari total aset AS telah dikelola menggunakan pendekatan ini.
Selain di AS, negara maju lainnya seperti Australia juga mulai banyak mengadopsi ESG Investing. “Ambil contoh AustralianSuper, pengelola investasi pensiun terbesar di Australia, yang menerapkan standar ESG ketat sebagai pertimbangan. Dana yang mereka kelola tidak akan diinvestasikan pada perusahaan yang dianggap bermasalah di soal-soal seperti hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, dan tata kelola.” Kata Farouk.
Namun menurut Farouk Alwyni, masih banyak tantangan untuk menerapkan ESG Investing di negara berkembang termasuk Indonesia. Terutama soal kesadaran pelaku bisnisnya, yang belum begitu bisa melihat gambar besar dari dampak kelakuan bisnis yang tidak bertanggung jawab secara sosial.
“Negara berkembang masih minim ‘awareness’ dibandingkan negara-negara maju. Di negara majupun sebetulnya pendekatan ESG juga masih berproses. Tetapi posisinya telah lebih dominan mengingat banyak korporasi, indeks-indeks saham internasional, dan dana-dana pensiun yang mulai mengadopsi ESG Investing.” Kata Farouk.
Sebetulnya, imbuh Farouk, pemerintah dapat memainkan perannya. Jika kesadaran pemerintah sudah besar untuk menciptakan lingkungan bisnis yang berorientasi ESG (bisa melalui penciptaan regulasi yang memihak ataupun insentif fiskal), maka implikasinya akan sangat signifikan.
“Bisnis yang tadinya tidak mempunyai kesadaran, otomatis akan terbuka kesadarannya karena ada direct benefits untuk mereka jika menerapkan praktik ESG investing.”
Moralitas Baru
ESG Investing agaknya patut dipertimbangkan sebagai moralitas baru dalam menjalankan sebuah ekonomi. Atas perhatiannya yang besar pada lingkungan, praktik ekonomi berkelanjutan demikian dinilai lebih tangguh jika dihadapkan pada krisis ataupun pandemi, dibanding pengelolaan ekonomi kapitalistik yang sekarang menjadi arusutama.