BARISAN.CO – Penyintas pelecehan dan kekerasan seksual di banyak negara banyak yang memilih bungkam.
Ada begitu banyak alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut.
Salah satu penyebab penyintas memilih bungkam ialah victim blaming masih merajalela. Mereka kerap disalahkan atas peristiwa traumatis yang dialami.
Setelah kejadian, tidak jarang merasa gelisah, bingung, ketakutan, depresi, dan cemas. Hal itu bisa terjadi karena otak membajak pikiran dan tubuh manusia setelah peristiwa traumatis.
Berikut ini, alasan penyintas menunda bahkan enggan melaporkan sama sekali setelah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual;
- Takut akan pembalasan. Hal itu mencakup kekerasan fisik atau juga pelaporan balik. Di tempat kerja, pembalasan bisa berupa jabatannya diturunkan, promosinya ditolak, atau bahkan dipecat.
- Penyintas merasa malu. Ia bahkan menyalahkan diri sendiri akibat budaya victim blaming. Contohnya, saat ia mengenakan pakaian yang nyaman, bukan berarti untuk mengundang tindakan seksual terhadapnya. Tidak ada satu pun orang yang meminta untuk dilecehkan secara seksual.
- Otoritas terkait tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak adanya tindakan serius memungkinkan penyintas tidak memiliki tempat untuk berlindung.
- Tidah terlalu signifikan untuk dilaporkan. Banyak penyintas melaporkan mereka dipaksa mempercayai tidak ada yang benar-benar terjadi. Tanpa adanya bukti, mungkin terasa tidak penting. Sebuah survei NPR menyebut hanya 20 persen penyintas kekerasan seksual di kampus melapor ke polisi. Dan, sekitar 12 persen korban yang masih pelajar menganggap insiden tersebut tidak cukup penting untuk dilaporkan.
- Sekitar 7 persen penyintas pelecehan seksual tidak ingin pelakunya berurusan dengan hukum. Ini bisa terjadi apabila seseorang khawatir kehilangan dukungan finansial.
- Tidak ingin keluarga atau teman mengetahuinya. Di beberapa keluarga atau budaya, mendiskusikan seksualitas bisa amat sulit. Remaja takut akan hukuman orang tua karena melanggar aturan atau bahkan dikucilkan dari kelompok sosialnya.
- Khawatir akan efektivitas sistem peradilan pidana yang tidak mendasar. Menurut RAINN, dari 1.000 kasus pemerkosaan, hanya enam pemerkosa akan mengabiskan waktu satu hari di penjara. Angka tersebut menanamkan ketidakpercayaan penyintas terhadap sistem peradilan.
- Terlalu banyak waktu yang telah berlalu. Beberapa penyintas batal melaporkan karena merasa sudah terlambat untuk memperoleh keadilan. Mereka menyesal tidak melaporkannya langsung setelah kejadian itu terjadi, tetapi merasa tidak berguna jika insiden tersebut telah berlangsung bertahun-tahun yang lalu.
Ketakutan memang menyelimuti membungkam kebenaran. Bersembunyi di balik rasa malu dan merusak diri korban pasca kejadian baik secara emosional, psikologis, maupun fisik.
Akan tetapi, menuding dan menyalahkan korban tak segera melaporkan adalah kesalahan besar. Sebab, kita tak berada di posisi mereka sehingga tidak akan pernah tahu persis perasaan mereka. [rif]