PERTANYAAN itu pernah dilontarkan juga oleh istri saya. Apalagi ketika akhir bulan. Pertanyaan istri saya itu sangat sederhana, praktis dan tentu saja menyindir.
Tapi bagaimana esais cum jurnalis Joan Didion menulis, “Mengapa Saya Menulis”. Jawabannya sangat panjang dan tentu saja inspiratif.
Kenapa esai saya ini fokus kepada Didion. Jawabannya sangat sederhana, “Karena dia penulis favorit saya.”
Didion adalah perempuan jurnalis yang terus mempraktikkan jurnalisme baru atau jurnalisme sastrawi. Sehingga membaca esainya seperti membaca cerpen atau novel.
Dari sejumlah esai yang dipublikasikan di majalah Vogue dan suplemen buku The New York Times, Didion menulis esai sangat khas.
Didion selalu menulis dengan sudut pandang pribadi, menceritakan pengalaman dan perasaannya sendiri.
Mempraktikkan jurnalisme naratif, Didion menulis selalu dengan deskripsi yang detail. Didion sangat pandai dalam menggambarkan suasana dan lingkungan sehingga membuat pembaca dapat membayangkan secara jelas apa yang sedang diterangkan.
Kendati dikenal sebagai penulis budaya populer, esai Didion juga dikenal cukup kritis dalam isu sosial dan politik.
Tulisan Didion juga selalu diimbuhi dengan refleksi dan perenungan serta memancing pembacanya untuk berpikir. Selain gaya bahasanya yang lugas dengan kalimat-kalimat pendek.
Selain jurnalis, novelis dan esais, Didion juga adalah dramawan Amerika. Buku-buku kumpulan esainya menjadi bahan studi dan menjadi klasik karena banyak memotret lanskap budaya Amerika pada pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Dia telah menerima banyak penghargaan untuk tulisannya, termasuk Penghargaan Buku Nasional dan Medali Seni Nasional.
Didion meninggal dalam usia 87 tahun dengan meninggalkan karya-karya hebatnya “Launching Towards Bethlehem” (1968), “Play It As It Lays” (1970), “A Book of Common Prayer” (1977), “The White Album” (1979), “Sentimental Journeys” (1992), “Political Fictions” (2001), “Where I Was From” (2003), “The Year of Magical Thinking” (2005), “Blue Nights” (2011), dan “South and West: From a Notebook” (2017).
Dalam sebuah makalahnya yang sangat panjang dan berjudul “Why I Write”, Didion mengatakan, “Saya menulis sepenuhnya untuk mencari tahu apa yang saya pikirkan, apa yang saya lihat dan apa artinya.” [rif]