BARISAN.CO – Setiap tanggal 29 Mei diperingati sebagai Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN). Peringatan HLUN diadakan untuk mengapresiasi semangat jiwa raga dan serta peran penting dan strategi para lansia di Indonesia dalam kiprahnya mempertahankan kemerdekaan, mengisi pembangunan, dan memajukan bangsa.
Berdasarkan umur, lansia terbagi menjadi 3 katagori yaitu Lansia Muda, Lansia Dewasa dan Lansia Paripurna. Sementara berdasarkan produktivitas, lansia dibagai menjadi 2 katagori yaitu lansia potensial dan lansia tidak potensial.
Sejarah Hari Lanjut Usia Nasional diperingati sejak Dr. KRT Radjiman Widiodiningrat, didaulat oleh peserta sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjadi pimpinan sidang pada tanggal 29 Mei tahun 1945.
“Hal ini diinisiasi atas peran Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat yang memimpin sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, sebagai anggota paling sepuh (tertua), yang dengan kearifannya mencetuskan gagasan perlunya dasar filosofis negara Indonesia,” tulis akun Instagram @kemensosri, 24 Mei 2021.
Tanggal tersebut dicetuskan kembali dan dicanangkan pada tanggal 29 Mei 1996 di Semarang sebagai Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) sebagai penghormatan atas jasa, pemikiran dan kebijakan Dr. KRT Radjiman Widiodiningrat.
Profil Radjiman Widiodiningrat
Melansir ikpni.or.id, Radjiman Wedyodiningrat lahir pada 21 April 1879 di Desa Melati, Kampung Glondongan, Kota Yogyakarta, ibunya berdarah Gorontalo. Sejak kecil Radjiman dididik untuk memiliki jiwa yang bersahaja, suka bekerja keras, tabah, dan ksatria.
Ia berhasil mengenyam pendidikan hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris, dan Amerika. Ia berhasil memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20 tahun. Sedangkan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari Kesultanan Yogyakarta karena jasanya bertugas di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1918 ia menjadi salah seorang anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan pemerintah hindia Belanda dan duduk selama beberapa periode hingga tahun 1931 sebagai wakil dari Boedi Oetomo. Ia juga beraktivitas dalam parlemen. Ia memimpin penerbitan majalah tengah bulanan Timbul (1926-1930). Di majalah tersebut, Radjiman banyak menulis terutama mengenai kesenian Jawa dan kawruh Jawa.
Radjiman Wedyodiningrat lebih dikenal sebagai Dokter Rakyat. Dalam perjalanan karirnya, mengutip Liputan6.com, dia pernah menetap di tengah-tengah warga Ngawi yang tengah diserang wabah pes di tahun 1934. Dia juga aktif memberdayakan dukun bayi di daerah tersebut guna mencegah kematian ibu dan bayi saat melahirkan.
Radjiman sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat, terutama yang tidak mampu. Itu sebabnya dia diangkat menjadi dokter Keraton Surakarta dan mendapat gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan tambahan nama Wedyodiningrat. Dia juga tercatat pernah menjadi dokter di Rumah Sakit Jiwa Lawang, Jawa Timur, yang namanya kemudian diabadikan pada rumah sakit tersebut: Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Di tengah kesibukannya sebagai dokter, Radjiman juga terlibat aktif dalam pergerakan kaum intelektual di zaman perjuangan. Radjiman ikut berperan dalam lahirnya organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua organisasi tersebut pada 1914-1915. Ketika memimpin Boedi Oetomo, Radjiman mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah menyusul pecahnya Perang Dunia I.
Usulan tersebut ditolak Pemerintah Belanda, dan sebagai gantinya Radjiman ditunjuk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Setelah itu, Radjiman menjadi aktivis Committee van da Javasche Onwikkeling (Java Instituut) dan Indonesiasche Studie Club.