Swedia dikenal sebagai salah satu negara paling berkelanjutan di dunia. Berdasarkan Suistanable Development Report 2021, Swedia berada di urutan kedua setelah Finlandia sebagai negara paling berkelanjutan di dunia. Selain karena penggunaan sumber energi terbarukan dan emisi karbon yang rendah, 99% limbah di Swedia pun diolah. Ditambah dengan kebijakan EPR ini, tentu tak mengejutkan jika negara ini juga menjadi negara terhijau kelima di dunia.
Extended Producer Responbility di Indonesia
Dalam UU No.18 Pasal 15 Tahun 2008 diatur tentang kewajiban produsen berisi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksi yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Pengelolaan oleh produsen ini disebut Extended Producer Responbility.
Sama halnya dengan negara-negara di Uni Eropa, produsen di Indonesia secara kolektif, menjalankan kewajibannya dengan mengikuti organisasi yang menyelenggarakan secara langsung program EPR, yakni Producer Responbility Organization (PRO).
Belum banyak perusahaan yang menerapkan EPR karena dianggap akan menguras biaya untuk pengelolaan limbah yang dihasilkan. Anggapan itu keliru.
Di tahun 2020, Unilever mendaur ulang lumpur non-B3 sebesar 10,5 ton yang justru menghemat biaya pengolahan sampah mencapai Rp8,2 miliar. Unilever juga memproses sampah plastik dan mendaur ulang sekitar 94.066 kg sampah kemasan berlapis dan menghasilkan kurang lebih 46.210 rPE. Hasil daur ulang itu digunakan untuk kemasan Rinso pada tahun 2021.
Ini membuktikan, kebijakan EPR sebenarnya menguntungkan juga bentuk pertanggungjawaban produsen terhadap produk yang dihasilkan. [rif]




