BARISAN.CO – Neraca Jasa-Jasa (Services) dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencakup berbagai transaksi jasa antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain. Baik yang bersifat ekspor atau menjual dan menghasilkan devisa. Maupun yang bersifat impor, memakai atau membeli yang berakibat pengeluaran devisa.
Statistik NPI Bank Indonesia saat ini mengelompok Jasa-Jasa ke dalam 12 kategori. Antara lain: Jasa manufaktur, Jasa pemeliharaan dan perbaikan, Transportasi, Perjalanan, Jasa konstruksi, Jasa asuransi dan dana pensiun, Jasa keuangan, Biaya penggunaan kekayaan intelektual, Jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi, Jasa bisnis lainnya, Jasa personal, kultural, dan rekreasi, dan Jasa pemerintah.
Neraca Jasa-Jasa Indonesia selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Defisitnya pada tahun 2020 mencapai US$9,84 miliar, meningkat dari tahun 2019 yang sebesar US$7,64 miliar. Selama setahun pada 2020, penduduk Indonesia membayar atas jasa pihak asing sebanyak US$24,72 miliar, dan sebaliknya hanya menerima sebesar US$14,87 miliar.
Sebenarnya, pembayaran (impor) jasa pada tahun 2020 jauh lebih sedikit dibanding 2019, namun pada saat bersamaan, penerimaan turun lebih cepat.
Kelompok jasa yang menyumbang defisit terbanyak pada tahun 2020 adalah Jasa Transportasi sebesar US$4,90 miliar. Berikutnya adalah: Jasa bisnis lainnya US$2,59 miliar, Jasa telekomunikasi, komputer dan informasi US$2,10 miliar, dan Biaya penggunaan kekayaan intelektual US$1,56 miliar.
Pada tahun 2020 terdapat 7 jenis jasa yang mengalami defisit. Meskipun jasa transportasi masih alami defisit terbesar, namun turun dibanding tahun 2019. Masih lebih besar jika dibanding tahun 2010. Sedangkan jasa bisnis lainnya cenderung terus alami kenaikan.
Jasa bisnis lainnya ini antara lain: broker komoditas, dealer, dan agen komisi perdagangan, hukum, akuntansi, konsultasi manajemen, dan semacamnya.
Sebagian kelompok jasa lagi cenderung mengalami surplus. Terdapat 5 kelompok jasa yang mengalami surplus pada tahun 2020. Antara lain: Jasa Perjalanan sebesar US$1,38 miliar, Jasa Manufaktur sebesar US$423 juta, Jasa Pemerintah sebesar US$598 juta, Jasa Personal, Kultural dan rekreasi sebesar US$47 juta, dan Jasa Pemerliharaan dan Pebaikan sebesar US$51 juta.
Jasa transportasi memang selalu defisit dengan nilai fluktuatif dan hampir selalu menjadi penyumbang defisit terbesar setiap tahunnya. Defisitnya mencapai US$7,7 miliar pada 2019. Disumbang oleh defisit transportasi barang (Freight) sebesar US$5,96 miliar dan transportasi penumpang (Passenger) sebesar US$1,65 miliar.
Nilai defisit Transportasi Barang tersebut berfluktuasi selama belasan tahun terakhir, dan terkait erat dengan tingkat kegiatan ekspor impor barang. Sementara itu, defisit Transportasi Penumpang telah meningkat kembali selama tiga tahun terakhir sebelum pandemi (2017-2019). Padahal sempat membaik selama tiga tahun (2014-2016).
Surplus terbesar dialami oleh jasa Perjalanan yang sebesar US$1,38 miliar. Namun nilainya turun drastis dibanding tahun 2019 yang mencapai US$5,60 miliar. Terutama karena dampak pandemi yang melanda seluruh dunia.
Terjadi penurunan drastis dalam penerimaan jasa Perjalanan ini, yang hanya sebesar US$3,24 miliar. Namun diimbangi oleh pembayaran yang turun lebih drastis, menjadi hanya sebesar US$1,86 miliar. Salah satunya, tidak adanya perjalanan haji dan terbatasnya perjalanan umrah.
Jasa Perjalanan memang selalu mengalami surplus sejak dahulu. Pada tahun 2004 tercatat surplus US$938 juta. Pada tahun 2010 sempat menurun menjadi US$563 juta. Kemudian meningkat kembali hampir 10 kali lipat dalam sembilan tahun terakhir, hingga mencapai US$5,59 miliar di 2019.
Surplus jasa perjalanan selama ini terutama dihasilkan dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Jumlahnya cenderung meningkat dalam 4 tahun terakhir sebelum era pandemi (2020), hingga mencapai lebih dari 10 juta orang tiap tahunnya. Namun, pada saat bersamaan, kunjungan penduduk Indonesia ke luar negeri juga terus meningkat, meskipun dengan lebih lambat.
Fenomena yang perlu mendapat perhatian khusus, dianalisis, dan diambil kebijakan yang tepat adalah dalam hal kelompok Jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi. Defisitnya terus meningkat selama enam tahun terakhir.
Padahal sebelum tahun 2012, kondisinya cenderung surplus meski dengan nilai yang terbilang kecil. Defisitnya pun membengkak, dari US$149 juta (2012) menjadi US$3,40 miliar (2020). Bahkan, pandemi justeru meningkatkan nilai defisitnya.
Perlu diingat bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang akan terus tumbuh seiring dengan era digital. Jika tidak ada insentif pada pengembangan jasa telekomunikasi, komputer dan informasi dalam negeri, maka kontribusinya pada defisit transaksi bejalan akan terus meningkat.
Penyumbang defisit lainnya adalah biaya penggunaan kekayaan intelektual yang mencapai US$1,63 miliar pada tahun 2019. Penduduk Indonesia membayar biaya atas hak asing sebesar US$1,80 miliar, dan hanya menerima sebesar US$174 juta. Nilai defisitnya memang sedikit lebih kecil dari tahun 2010.
Beberapa kelompok jasa meski masih mencatatkan defisit, namun relatif kecil. Di antaranya adalah: jasa asuransi dan dana pensiun, jasa keuangan serta jasa pemeliharaan dan perbaikan. Catatan khusus adalah pada jasa bisnis lainnya yang perlahan makin menaingkat.
Jasa bisnis lainnya ini antara lain: broker komoditas, dealer, dan agen komisi perdagangan, hukum, akuntansi, konsultasi manajemen, dan semacamnya.
Dengan fakta perkembangan seperti yang diuraikan tadi, maka tampak bahwa ketergantungan pada jasa asing masih terus berlangsung. Perbaikan Transaksi Berjalan tak dapat hanya dengan upaya yang terfokus pada ekspor atau transaksi barang saja. Perbaikan neraca jasa adalah suatu keniscayaan. []
Tulisan tentang Transaksi Berjalan lainnya:
Kontributor: Awalil Rizky
Diskusi tentang post ini