Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Sebelas]

Redaksi
×

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Sebelas]

Sebarkan artikel ini

Secara teoritis dan teknis, tersedia beberapa kebijakan untuk membiayai defisit selain berutang. Diantaranya adalah dengan mencetak uang dan atau menjual aset negara. Dan pada praktik kebijakan fiskal di Indonesia, semua jenis tersebut pernah dijalankan. Pada era Pemerintahan Jokowi, pilihan utamanya adalah dengan berutang.

Mengenai alasan pemerintah tentang utangnya bersifat produktif memang cukup beralasan, jika dilihat dari contoh beberapa program prioritas dan alokasi anggaran tematik. Akan tetapi, cukup jelas bahwa tidak semua dana dari utang selama beberapa tahun terakhir ini untuk keperluan produktif, dalam artian demikian. Sebagian cukup besar untuk membiayai operasional rutin pemerintahan.

Salah satu contoh analisis adalah membandingkan antarjenis belanja pemerintah pusat (BPP). Pada realisasi APBN 2015 sampai dengan 2020, rerata porsi jenis belanja modal hanya 16,57% dari total BPP. Setara dengan belanja pembayaran bunga utang yang berporsi 16,58%. Lebih kecil dari belanja pegawai sebesar 24,05%, dan belanja barang sebesar 20,88%.

Contoh lain adalah seberapa besar peningkatan nilai aset Pemerintah selama periode tersebut. Terutama nilai aset yang telah dibeli atau dibangun berdasar narasi kebijakan tentang proyek prioritas. Hanya saja dalam soalan ini, perlu pencermatan tentang aspek revaluasi dan devaluasi nilai aset tetap ataupun aset investasi jangka panjang. Tidak bisa sepenuhnya membandingkan peningkatan nilai aset selama kurun tertentu dan tambahan utang pada kurun yang sama.

Bagaimanapun, sebagai indikasi awal untuk dikaji lebih cermat bisa diperbandingkan penambahan nilai aset pemerintah pada masing-masing periode. Dikaitkan dengan tambahan utang pada periode yang sama. Secara lebih khusus dianalisis kenaikan nilai aset tetap. Dalam hal aset tetap, perlu diperhatikan dan dipisahkan nilai aset tanah dan yang bukan tanah, karena besarnya pengaruh perkembangan harga tanah.

Salah satu jenis aset tetap yang banyak dikemukakan dalam narasi kebijakan adalah “Jalan, Irigasi, dan Jaringan”. Nilainya sebelum akumulasi penyusutan pada akhir tahun 2019 sebesar Rp852,16 triliun. Bertambah sebesar Rp375,91 triliun dari nilai akhir tahun 2014. Jika memperhitungkan nilai akumulasi penyusutan, maka nilainya sebesar Rp618,05 triliun pada tahun 2019, bertambah sebesar Rp321,64 triliun dibanding nilai tahun 2014.

Grafik 1: Aset Jalan, Irigas, & Jaringan, 2008-2019

Sumber data: LKPP audited beberapa tahun, diolah

Jika diperbandingkan kenaikan nilai aset “Jalan, Irigasi, dan Jaringan” antar periode pemerintahan, tidak tampak adanya persentase kenaikan. Hanya nilainya yang meningkat. Sebagai contoh, kenaikan antara nilai tahun 2019 dibanding tahun 2014 dalam nilai aset sebelum penyusutan hanya sebesar 178,93%. Sedangkan nilai aset tersebut bertambah 254,79%, antara nilai tahun 2014 dibandingkan tahun 2009.  

Akan tetapi jika disertakan nilai aset tanah dalam perbandingan, memang terjadi peningkatan yang luar biasa pada periode 2014-2019. Nilai tanah meningkat 348,22% pada tahun 2019 dibanding nilai tahun 2019, karena adanya revaluasi. Dan dengan demikian, amat berpengaruh pada peningkatan nilai aset tetap dan nilai keseluruhan aset.

Dalam konteks bahasan di sini, sulit untuk disimpulkan bahwa kenaikan posisi utang yang signifikan diartikan lebih karena peningkatan kepemilikan aset tetap oleh pemerintah.

Grafik 2: Aset tanah, 2008-2019

Sumber data: LKPP audited beberapa tahun, diolah

Hampir serupa dengan itu, argumen peningkatan belanja infrastruktur merupakan bukti utang bersifat produktif juga tidak sepenuhnya benar. Jika dicermati nilai kenaikannya, dengan penyesuaian definisi yang sebanding antar periode, kenaikan tidak terbilang spektakuler. Dapat ditambahkan bahwa dalam hal belanja subsidi, terjadi penurunan pada era pemerintahan Jokowi. Bisa dimaknai telah tersedia perpindahan alokasi dana untuk keperluan lainnya, termasuk infrastruktur.