Scroll untuk baca artikel
Blog

Menggapai Kearifan di Negeri Atas Awan Wae Rebo, Manggarai

Redaksi
×

Menggapai Kearifan di Negeri Atas Awan Wae Rebo, Manggarai

Sebarkan artikel ini

Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjut menuju Pos 3. Jalur mendaki yang cukup terjal masih menjadi tantangan. Untunglah tidak terlalu lama, hanya sekitar 300 meter, jalur pendakian selanjutnya mulai melandai. Sekitar 1 jam perjalanan terlihat bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Itulah Pos 3 jalur pendakian ke Wae Rebo.

Dokumentasi foto Arbain Nur Bawono.

Dari Pos 3, kampung Wae Rebo sudah terlihat. Jangan buru-buru melanjutkan perjalanan. Pemandu akan memukul kentongan sebagai pertanda kehadiran tamu. Jika dari kampung ada balasan, maka berarti izin untuk masuk ke Wae Rebo sudah diberikan. Jika tidak ada balasan, misalkan kedatangan sudah terlalu larut malam, maka tamu harus menginap di Pos 3 menunggu pagi.

Berbeda dari perjalanan sebelumnya, dari Pos 3 menuju kampung Wae Rebo justru menuruni lembah. Jika jalur tanah basah karena hujan, berhati-hatilah karena cukup licin. Manfaatkan rerumputan dan pohon yang tumbuh di pinggir jalur untuk menjaga keseimbangan supaya tidak tergelincir.

Sebagai bentuk penerimaan, setiap tamu akan dipersilakan masuk terlebih dahulu ke rumah ketua adat. Di bangunan rumah terbesar ini, beberapa warga sudah berkumpul menyambut dengan tabuhan gamelan khas Wae Rebo.

Selanjutnya, setelah para tamu dipersilakan ikut duduk bersila, ritual penerimaan pun digelar. Sejalan dengan kepercayaan masyarakat Wae Rebo, kedatangan tamu harus disampaikan kepada para leluhur.

Menggunakan bahasa Manggarai, tetua adat dengan suara cukup keras menyampaikan kepada para leluhur tentang identitas tamu, asal tempat tinggal, maksud kedatangan dan sekaligus dinyatakan sebagai warga Wae Rebo, bukan lagi sebagai tamu dari jauh.

Sebelum upacara adat itu, tamu tak diperkenankan beraktivitas termasuk mengambil foto untuk mengabadikan keindahan Wae Rebo. Sebagai welcome drink, kopi hitam yang diolah dari hasil kebun warga Wae Rebo menjadi sajian nikmat, mengembalikan semangat yang terkuras sepanjang perjalanan.

Jangan pusingkan akomodasi dan konsumsi selama di Wae Rebo. Pada saat upacara adat, para tamu akan diminta keikhlasan untuk menyerahkan Rp350.000 untuk yang menginap dan Rp250.000 bagi yang tidak menginap.

Jumlah yang tidak seberapa, akan tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan akomodasi, konsumsi, dan sekaligus sebagai sumber dana untuk merawat rumah adat dan mempertahankan kearifan tradisi Wae Rebo yang sudah berusia ratusan tahun.

Tentu saja pilihan menginap akan memberikan pengalaman yang luar biasa. Wae Rebo di malam hari saat ini telah diterangi listrik dari genset yang dioperasikan di desa terdekat. Sayang memang, bukan dari pembangkit listrik energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan untuk menjaga kealamian Wae Rebo.

Dokumentasi foto Arbain Nur Bawono.

Sebuah rumah yang memiliki bentuk serupa meskipun lokasinya agak terpisah dari 7 rumah adat utama, difungsikan sebagai semacam guest house. Berada di dalam rumah yang dilengkapi dengan matras dan selimut yang cukup tebal itu akan membantu mengatasi udara dingin Wae Rebo. Di belakangnya, dereten toilet yang sudah didesain modern menjadi fasilitas untuk memenuhi kebutuhan MCK.

Sayangnya, malam ini mendung hitam masih memenuhi langit Wae Rebo. Rencana menyaksikan gerhana bulan total pun gagal. Sepanjang malam, sesekali gerimis turun. Bahkan, menjelang fajar hujan turun menderas disertai angin menderu dan guntur yang menggelegar. Padahal, jika langit cerah bisa dibayangkan betapa indahnya suasana fajar di Wae Rebo.

Untunglah, seiring mentari yang merangkak naik, cahaya mulai menerangi Wae Rebo. Deretan setengah lingkaran 7 buah rumah adat berbentuk kerucut raksasa mulai terlihat dengan jelas berselimut kabut tipis. Masyarakat Wae Rebo juga mulai tampak beraktivitas di luar rumah ataupun berangkat ke kebun. Nikmati keramahan warga yang akan dengan senang hati berkenalan dan menemani perbincangan ataupun diajak berfoto bersama.