Sayang, bulan purnama tak sekejap pun menampakkan sinarnya. Sepanjang jalur hanya kegelapan, menyusuri punggung gunung menembus kelebatan hutan. Senantiasa hati-hati dan waspada, selain licin, jalur yang hanya muat satu orang itu diapit tebing dan jurang di sisi-sisinya.
Ikuti selalu petunjuk pemandu untuk kelancaran pendakian. Oh ya, senter menjadi perlengkapan wajib untuk pendakian malam. Jika mendaki di musim hujan, siapkan juga jas hujan untuk berjaga-jaga. Satu hal lagi, gunakan sepatu atau alas kaki yang memang diperuntukkan untuk mendaki gunung karena medan yang cukup berat.

Setelah perjalanan sekitar 1 jam, sampailah di Pos 2. Tidak ada bangunan layaknya sebuah pos. Hanya bagian dari jalur pendakian yang ditandai dengan pagar besi sebagai pembatas di sisi jurang dan tebing di sisi lainnya. Dari ketinggian itu, dapat disaksikan kampung Denge terlihat dari lampu-lampu yang terpancar dari rumah penduduk. Tak disangka, justru di sini sinyal telepon dapat tertangkap.
Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjut menuju Pos 3. Jalur mendaki yang cukup terjal masih menjadi tantangan. Untunglah tidak terlalu lama, hanya sekitar 300 meter, jalur pendakian selanjutnya mulai melandai. Sekitar 1 jam perjalanan terlihat bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Itulah Pos 3 jalur pendakian ke Wae Rebo.
Dari Pos 3, kampung Wae Rebo sudah terlihat. Jangan buru-buru melanjutkan perjalanan. Pemandu akan memukul kentongan sebagai pertanda kehadiran tamu. Jika dari kampung ada balasan, maka berarti izin untuk masuk ke Wae Rebo sudah diberikan. Jika tidak ada balasan, misalkan kedatangan sudah terlalu larut malam, maka tamu harus menginap di Pos 3 menunggu pagi.
Berbeda dari perjalanan sebelumnya, dari Pos 3 menuju kampung Wae Rebo justru menuruni lembah. Jika jalur tanah basah karena hujan, berhati-hatilah karena cukup licin. Manfaatkan rerumputan dan pohon yang tumbuh di pinggir jalur untuk menjaga keseimbangan supaya tidak tergelincir.
Sebagai bentuk penerimaan, setiap tamu akan dipersilakan masuk terlebih dahulu ke rumah ketua adat. Di bangunan rumah terbesar ini, beberapa warga sudah berkumpul menyambut dengan tabuhan gamelan khas Wae Rebo.
Selanjutnya, setelah para tamu dipersilakan ikut duduk bersila, ritual penerimaan pun digelar. Sejalan dengan kepercayaan masyarakat Wae Rebo, kedatangan tamu harus disampaikan kepada para leluhur.
Menggunakan bahasa Manggarai, tetua adat dengan suara cukup keras menyampaikan kepada para leluhur tentang identitas tamu, asal tempat tinggal, maksud kedatangan dan sekaligus dinyatakan sebagai warga Wae Rebo, bukan lagi sebagai tamu dari jauh.