Tanah lapang dengan rumput menghijau menjadi halaman tempat berkumpul dan bercengkerama warga. Di tengahnya ada gundukan tanah berlapis susunan batu. Hormatilah tempat sakral yang dijadikan sebagai pusat upacara dan persembahan masyarakat Wae Rebo itu. Jangan sejali-kali naik ke atasnya karena akan melukai hati warga.
Jika ingin mendapat gambaran utuh keberadaan rumah adat di Wae Rebo, naiklah ke bukit kecil di dekat permukiman. Dari ketinggian, keindahan ketujuh rumah adat Wae Rebo dengan latar belakang gunung menghijau sungguh elok dipandang.
Keindahan dan ketenangan Wae Rebo memang bikin betah. Rasanya ingin berlama-lama tinggal di Wae Rebo. Akan tetapi, tidak ingin mengulang perjalanan di gelap malam, diputuskan untuk turun ke Denge di siang hari.
Setelah berpamitan dengan warga, diiringi mendung yang kembali menebal bergegas memulai perjalanan meninggalkan Wae Rebo.
Tentu saja perjalanan balik membutuhkan waktu yang lebih singkat karena lebih banyak jalur yang menurun. Berbeda dengan waktu berangkat yang diselimuti kegelapan, perjalanan turun dapat menikmati panorama keindahan Wae Rebo dengan lebih jelas.
Setelah melewati hamparan kebun kopi warga Wae Rebo, perjalanan dilanjutkan menembus hutan yang lebat. Di siang hari, baru disadari bahwa jurang-jurang di sepanjang jalur menuju Wae Rebo ternyata cukup dalam.
Syukur Alhamdulillah perjalanan semalam tidak ada hambatan berarti meskipun harus berjalan dalam gulita malam. Jika perjalanan malam ditemani suara jangkrik dan serangga malam lainnya, perjalanan siang akan lebih sering terdengar kicau burung yang merdu.
Pos-pos perjalanan, yang semalam tampak samar menjadi jelas terlihat untuk diabadikan dalam foto. Jangan lupa, sesampai di dekat Pos 3, sempatkan sekali lagi untuk menengok Desa Wae Rebo. Kilas pengalaman semalam di Wae Rebo dan pesona keindahan panoramanya segera membuncahkan tanya: “Kapan lagi bisa kembali mengunjungi Wae Rebo?” []