TAK secuil pun tebersit untuk mengutuk waktu. Bagaimanapun setiap menit, setiap saat, adalah suci. Tiada waktu yang tak suci. Yang bermasalah adalah sikap kita atas waktu. Menghadapi Senin, misalnya. Senin dari kata al-isnain, bahasa Arab, yang artinya dua. Jadi, sebetulnya hari Senin itu adalah hari kedua. Cuma dalam tradisi modern sebagai hari pertama. Senin sama dengan menempuh hari pertama. Hari yang menakutkan, penuh tegang, tidak santai.
Senin adalah hari pertama masuk kerja, usai sehari atau dua hari sebelumnya menikmati liburan. Senin terasa horor, ada semacam lompatan dari cita rasa manusia ke dunia serba otomat.
Sabtu, dan Minggu, adalah weekend, hari keluarga. Saat penuh canda tawa bebas tanpa tuntutan dan menuntut. Dan, kebanyakan kita akan mengoptimalkan satu atau dua hari itu dengan memanusiawikan diri.
Namun, sontak rasa manusia menguap, begitu detak memasuki senja di hari Minggu. Berasa sekali bahwa esoknya, tidak lagi sebagai manusia utuh, tapi menjelma jadi mesin yang serba tepat waktu, serba efisien, dan serba penuh tata aturan.
Senin itu dua. Dua adalah simbol berpasangan, yang merupakan ciri berdunia. Ada siang, ada malam. Ada laki-laki, ada perempuan, dan seterusnya. Senin menerbitkan perasaan subordinat mesin raksasa kapitalisme. Saya bayangkan rona muka gugup orang-orang memasuki gerbang perusahaan, gerbang pabrik, gerbang kantoran. Senin brnar-benar menyelami diri bukan sebagai diri. Karl Marx menyebutnya alienasi, keterasingan. Asing dengan dirinya sendiri, hingga tak mengenali kebutuhan dasarnya.
Asing, lantaran kudu berperan sebagai yang lain, demi, demi, terus saja demi. Dan kondisi demikian akan terus menjadi-jadi, sekira kita jauh dari sentuhan spiritual. Saban hari hanya berkutat dengan materi, sebuah dunia milik yang serba duniawi, yang sama sekali jauh dari sapaan dunia diri.
Orientasi akan dunia milik yang jor-joran, sungguh akan menjauhkan kita dari sentuhan diri. Tak ayal lagi: korupsi, selingkuh para selebritis, perkelahian antargang, perusakan lahan hutan, peralihan petak-petak sawah menjadi wahana wisata, dan seabrek laku pemuasan ego jadi santapan tak sedap di pemberitaan pagi kita.
Namun tetap, namanya saja manusia yang tersusun atas dunia indera dan jiwa, lamat-lamat sang subjek rindu menjenguk kedalaman diri. Manusia kangen menyapa jiwa. Kiranya itu yang kemudian majelis-majelis dzikir, ramalan-ramalan nasib, begitu digemari masyarakat perkotaan. Mereka ingin berlepas penat, lari dari kenyataan.
Ingin sesaat berelaksasi melupakan gemuruh mesin, kemajuan teknologi, hingga asyik masuk ke ranah mitologi. Dunia paranormal menjamur seiring kecanggihan ilmu pengetahuan. Dunia dukun, menjadi alternatif, selain majelis dzikir, untuk menumpah keluh kesah atas kesumpekan hidup.
Alienasi mewabah, akibat dominasi keinginan pada yang serba materi. Suara nurani yang condong pada spiritual kalah dan menyusut kerdil hingga hati mengeras. Memang, ada kala kerinduan menyapa yang Esa, hadir di majelis dzikir, pengajian, menangisi kesalahan, tetapi hanya sesaat.
Karena keadaan kembali memaksa si manusia menenggelamkan diri memasuki dunia milik, mengejar yang tertier dan sekunder seolah kebutuhan primer. Cita rasa manusia lenyap. Kemanusiaannya kandas, karena persentuhan dengan dunia milik sedemikian rupa telah meminggirkan Yang Maha Esa.
Lantaran dominasi ambisi keinginan, dan segenap kepentingan yang tiada berujung, maka lambat laun Tuhan pun menguap dari kesadaran. Tuhan telah mati. Rasa manusiawi meredup. Sebaliknya, sekira nafsu keserakahan dapat dikendalikan, bisa diistirahatkan, niscayaTuhan hidup. Cita rasa manusiawinya bersinar. Ia menghadapi hidup penuh cinta kasih, rasa syukur, tiada lagi horor. Tidak terteror oleh kebutuhan-kebutuhan material semata.