Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Mengutuk Waktu? Kunci Penyelamatan

Redaksi
×

Mengutuk Waktu? Kunci Penyelamatan

Sebarkan artikel ini

Alienasi mewabah, akibat dominasi keinginan pada yang serba materi. Suara nurani yang condong pada spiritual kalah dan menyusut kerdil hingga hati mengeras. Memang, ada kala kerinduan menyapa yang Esa, hadir di majelis dzikir, pengajian, menangisi kesalahan, tetapi hanya sesaat.

Karena keadaan kembali memaksa si manusia menenggelamkan diri memasuki dunia milik, mengejar yang tertier dan sekunder seolah kebutuhan primer. Cita rasa manusia lenyap. Kemanusiaannya kandas, karena persentuhan dengan dunia milik sedemikian rupa telah meminggirkan Yang Maha Esa.

Lantaran dominasi ambisi keinginan, dan segenap kepentingan yang tiada berujung, maka lambat laun Tuhan pun menguap dari kesadaran. Tuhan telah mati. Rasa manusiawi meredup. Sebaliknya, sekira nafsu keserakahan dapat dikendalikan, bisa diistirahatkan, niscayaTuhan hidup. Cita rasa manusiawinya bersinar. Ia menghadapi hidup penuh cinta kasih, rasa syukur, tiada lagi horor. Tidak terteror oleh kebutuhan-kebutuhan material semata.

Walhasil, tatkala Tuhan luput dari kesadaran, tatkala kita kehilangan takwa—saya memahami takwa sebagaimana ungkap Muhammad Asad adalah God consciousness—kemerosotan moral kian jelas di depan mata. Karena dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan hadir dalam setiap kegiatan, bahwa Tuhan mengetahui, mengawasi, dan akan meminta pertanggungjawaban setiap noktah tindakan, seseorang akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur.

Kita tahu, penyebab kehancuran suatu bangsa adalah berkenaan dengan kemerosotan moral. Maka, tindakan penyelamatan bangsa kita ini, upaya penyelamatan negeri zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, juga berkaitan dengan seberapa serius kita menegakkan moral. Itulah kenapa, tersebut dalam surah al-Hujurat ayat 13: “… Sungguh, yang paling mulia di antara kalian dalam pandangan Allah ialah yang paling mendalam kesadarannya akan Dia. Perhatikanlah, Allah Maha Mengetahui, Mahaawas.”

Syahdan, kesadaran akan kemahahadiran-Nya dan keinginan seseorang untuk membentuk eksistensinya berdasar kesadaran ini menjadi kunci kemakhlukan manusia. “Perhatikanlah berlalunya waktu! Sungguh, manusia itu pasti merugikan dirinya sendiri, kecuali dia termasuk orang-orang yang meraih iman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, ….

Ya, akhirnya begitulah sang waktu. Berjalan atau berlalunya benar-benar tiada pernah dapat diraih kembali. Hanya dengan memupuk kesadaran akan kehadiran-Nya, kita dan semua ini selamat.