BARISAN.CO – Irving Fisher, ekonom Amerika Serikat, pada dekade awal abad ke-20 pernah berkata, “perubahan uang yang beredar pada esensinya akan memicu perubahan harga barang pada umumnya.” Itulah dasar dari teori kuantitas uang yang ia jelaskan dalam bukunya ‘The Purchasing of Power Money‘ (1911).
Menurutnya, tingginya peredaran uang berimbas pada kenaikan inflasi. Artinya, tatkala peredaran uang lebih banyak dibanding dengan stok barang yang tersedia di pasar, maka harga barang-barang akan menjadi lebih mahal.
Berlalu satu abad kemudian, peredaran uang kini tidak hanya dalam bentuk tunai saja, tapi juga elektronik. Muncul sebagai inovasi sistem pembayaran, pada perkembangannya uang elektronik beredar luas di tangan masyarakat.
Data BI menunjukkan pada 2020 lalu, saat pandemi masuk melanda Indonesia, terjadi lonjakan transaksi uang elektronik hingga nyaris 30 kali lipat bila dibandingkan transaksi di 2016. Semula yang hanya Rp.7 triliun kemudian membumbung menjadi Rp.205 triliun hanya dalam 5 tahun.
Tak berhenti disitu, pada kuartal I 2022, transaksi uang elektronik masih dalam tren positif dengan mencatat pertumbuhan hingga 42,06% (yoy). Secara tahunan, BI memproyeksikan pertumbuhan pada 2022 bakal mencapai 18,03% (yoy).
Apalagi, per Juli 2022, BI bakal menaikkan batas top up uang elektronik dari Rp.10 juta menjadi Rp.20 juta dan transaksi bulanan dari Rp.20 juta menjadi Rp.40 juta. Artinya, hingga beberapa tahun ke depan, transaksi uang elektronik masih berpotensi bakal terus meningkat.
Penelitian
Lantas, akankah uang elektronik sama halnya dengan uang tunai yang mendorong laju inflasi? Menarik memang mempertanyakan hal itu disaat peredaran uang elektronik tengah pesat. Ternyata, Pisi Bethania Titalessy dalam risetnya pada 2020 lalu, dilansir dari The Conversation (24/4/2021), menunjukkan bahwa uang elektronik justru menekan laju inflasi.
Uang elektronik pada riset tersebut didasarkan pada uang elektronik e-wallet, seperti GoPay dan OVO dengan basis data kuartal kedua periode 2019-2020. Dalam riset tersebut, peredaran uang elektronik berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan nilai koefisien sebesar 1,53. Maka artinya, setiap kenaikan 1% transaksi uang elektronik akan menurunkan IHK sebanyak 1,53%.