Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Redaksi
×

Menjadi Manusia Rohani: Tansah Eling Lan Waspada

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Bagi yang “kurang santri”. Tak berlatar pesantren, yang tak biasa bergumul dengan kitab-kitab klasik, buku ini perlu dimiliki. Terlebih kini, di tengah situasi keberagamaan yang cenderung menonjolkan performance ibadah. Yang “rajin salat” dan berpenampilan sesantri mungkin, acap tanpa sadar mencibir “yang kurang iman”. Maka, buku ini perlu, bahkan penting.

Adalah Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Athaillah dalam Kitab al-Hikam karya Ulil Abshar Abdalla. Ya, Gus Ulil mensyarah kitab al-Hikam, karya agung Syekh Ibnu ‘Athaillah, syekh sufi dari tarekat Syadziliyyah. Tak pelak, Gus Ulil telah turut menyemarakkan syarah-syarah Kitab al-Hikam, yang sudah lumayan banyak jumlahnya.

Sebelum kehadiran Menjadi Manusia Rohani di gubuk saya, saya telah mengoleksi syarah dari Syekh Fadhlalla Haeri yang diterbitkan Serambi, 2004, Al-Hikam: Rampai Hikmah Ibn ‘Athaillah. Dan terus terang saya sulit memahami syarah Syekh Fadhlalla itu.

Ulasannya sama padat dengan yang disyarah. Diksi yang dipilih Syekh Fadhlalla sama-sama bikin saya tak mengerti sebagaimana baca terjemahan aforisme Syekh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari itu sendiri.

Nah, Gus Ulil tampil beda dalam mensyarahkan karya seorang guru sufi yang lahir pada pertengahan abad ke-13 itu. Gus Ulil hadir selaku (seolah) awam dan sosok yang ahli tasawuf sekaligus.

Dua pendekatan yang tak lazim: menghidangkan pengertian awam atau umum dan pengertian atau arahan khusus buat para salik. Lain dengan Syekh Haeri yang mengajak pembaca kandungan al-Hikam dengan langsung menukik ke ranah tasawuf, wajah Islam dalam dimensinya yang tinggi.

Di tangan Gus Ulil, Menjadi Manusia Rohani, diterbitkan alif.id, 2019, adalah perkenalan untuk menyelami kedalaman dan keindahan kata-kata Syekh Ibnu ‘Athaillah, juga panduan praktis untuk hidup tidak saja terarah, tetapi juga menenteramkan.

Gus Ulil membingkainya sebagaimana dalam ungkapan Jawa “eling lan waspada”. Bahwasanya kita mesti “sadar dan ingat terhadap hal yang bersifat inti dan sejati; waspada terhadap barang-barang yang hanya indah dan gemerlap di permukaan tetapi keropos di dalam” (hal. 32). Pendek kata, kita kudu “ingat akan tujuan hidup yang sesungguhnya, dan waspada terhadap segala hal yang bisa memalingkan kita dari sana” (hal. 102).

Jadilah, tasawuf ia sodorkan untuk itu: tansah eling lan waspada. Selalu ingat dan kembali kepada jalan utama menuju Tuhan. Karena toh memang kita tidak bisa luput dari pengawasan-Nya. Sebagaimana tegas Tuhan, “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (Al-Hadid: 4). Dalam ayat lain, “Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115).

Sadar akan kehadiran Tuhan dalam setiap detik kehidupan, niscaya akhlak atau budi pekerti luhur itu bukan lagi angan, melainkan kenyataan. Namun, rasa kehadiran Tuhan itu tidak terjadi begitu saja, mesti dilatih. Dan tasawuflah jawabannya.

Adalah pula, Menjadi Manusia Rohani merupakan juklak dan juknis untuk ke sana: menempuh hidup di jalan tasawuf. Gus Ulil telah meracik kedalaman makna kitab al-Hikam, dalam menu hidangan yang gampang dipahami. Gampang dihayati, dan insyaallah tak sulit dipraktikkan.

Apalagi memang, Gus Ulil dalam mensyarah selalu mengaitkan dengan persoalan-persoalan yang sering kita alami. Berkoneksi dengan derita dan gembira yang acap kali kita hadapi.

Sehingga tasawuf serasa bukan hanya milik para penempuh jalan iman dan ibadah, melainkan milik kita semua. Kita bisa menjalaninya. Dan kemungkinan akan merasakan nikmat tiada bertara saat menghayati persoalan yang telah terdekonstruksi (oleh tasawuf).