BARISAN.CO – Semester ganjil hampir berakhir. Tak terhitung sudah berapa banyak diskusi atau sekadar obrolan di warung kopi soal satu hal: peran mahasiswa di era digital, peran mahasiswa di era 4.0, peran mahasiswa di akhir zaman, dan seterusnya, dan seterusnya. Biasanya, segmen utama diskusi tersebut adalah mahasiswa baru (maba). Pembahasannya bisa macam-macam, tapi ada satu pertanyaan yang paling sering muncul di sesi akhir diskusi: bagaimana cara membagi waktu untuk segudang kegiatan?
Kemunculan pertanyaan ini wajar belaka. Toh, pendidikan kita memang tak pernah mengajarkan apapun soal kemandirian berpikir. Dari SD sampai SMA, tiap murid dibiasakan untuk menghafal. Mulai dari rumus, menghafal jembatan keledai untuk mengingat nabi-nabi ulul azmi (masih ingat NIMIM, kan?), dan urusan-urusan lain yang tak tahu apa juntrungannya. Kebiasaan menghafal ini saya kira adalah satu faktor yang bikin kita kesulitan untuk menyusun balok-balok pemikiran sendiri, bahkan untuk sekadar membagi prioritas waktu.
Tapi tak apa. Saya akan memberikan jawabannya. Sebagai abang-abangan semester akhir, saya akan sedikit berbaik hati. Senior galak sudah tak relevan, biarkan ia digerus zaman.
Begini jawabannya: nggak usah diatur.
Adik-adik maba,
Abang tahu setiap orang punya tujuan hidup masing-masing dan karenanya punya prioritas hidup masing-masing. Sejak kecil, kita juga sudah diajari bermimpi menjadi macam-macam, mulai dari astronot sampai blantik sapi, dari presiden sampai pengusaha mebel. Apa-apa yang dihadapi masing-masing profesi tentu berbeda. Setiap orang yang profesional juga mesti mengabdikan dirinya pada pekerjaan mereka. Tapi profesi hanya satu hal dalam hidup, begitu juga hal-hal lainnya.
Manusia memang harus punya tujuan luhur, tapi juga menyiapkan kita menghadapi dunia nyata, termasuk hal sederhana seperti mengatur waktu. Kuliah, sependek pemahaman saya, mestinya menyiapkan kita menghadapi semua itu.
Masih ingat omongan Anies Baswedan? Kuliah, kata gubernur Ibukota itu, adalah simulasi untuk menghadapi dunia nyata. Sebetulnya, tidak berkuliah pun tak apa-apa. Kuliah ibarat kolam dan dunia nyata adalah laut. Untuk menceburkan diri kedua tempat itu, tiap orang harus punya keterampilan berenang. Dan, menyambung kata Anies, “Lebih mudah mana belajar berenang di kolam sama di laut?”
Lantas, apa yang harus disiapkan untuk menghadapi dunia nyata? Banyak. Bisa jadi kesiapan finansial, kemampuan bersosial, keterampilan emosional, spiritualitas dan lain-lain. Artinya, bila seorang maba (atau Adik-adik) pengin mencapai karir tertentu, itu hanya satu hal. Banyak hal lain yang harus disiapkan seperti urusan-urusan yang sudah disebut di atas.
Lagipula, setahu Abang, daftar urusan panjang yang seolah tak habis-habis itu semuanya adalah satu kesatuan. Orang tak akan bisa cari duit kalau tidak punya koneksi, tidak bisa bersosialisasi kalau kondisi emosi tak stabil, dan tak bisa bahagia bila urusan seperti spiritualitas tak digubris (ini serius). Begitu pula hal-hal lainnya. Semuanya seperti satu gulungan benang yang tersambung. Entah mengapa, hal-hal tersebut kini jadi silang sengkarut seperti benang kusut hingga satu simpul dan yang lainnya menjadi terpisah.
Salah satu aktivis senior yang cukup terkenal hingga kini, tak perlu saya sebut namanya, pernah bilang kalau berkuliah itu sudah pasti sekaligus bekerja, berorganisasi dan lain sebagainya. Ia juga bertanya-tanya kenapa hal-hal niscaya itu mulai jadi terpisah belakangan. Seolah kuliah adalah sekadar kuliah, lantas bekerja, lantas jadi CEO, pemimpin, kemudian jadi nabi.