BARISAN.CO – Hasil studi penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tentang minat baca masyarakat Indonesia pada tahun 2019 menempati rangking 62 dari 70 negara. Sementara itu UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia 0,0001 persen, artinya dari 1.000 orang hanya ada 1 orang memiliki kegemaran membaca.
Sunnguh hal ini sangat ironis, jika dibandingkan dengan kecerewetan orang Indonesia di media sosial. Rata-rata orang Indoensia menghabiskan emapat jam perharinya di media sosial dan menempati peringkat tercerewet di dunia.
Sampai sekarang pendidikan kita masih di dominasi oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus di hafal. Jika dicontohkan di sekolah, suasana kelas masih mengandalkan sosok guru sebagai sumber pengetahuan. Begitu juga jika di rumah orangtua belum menghidupkan suasana baca di rumah.
Sehingga pendidikan “sekolah” kita mengajarakan siswa untuk bisa membaca, bisa menulis maupun bisa berdiskusi. Dari kecil anak sudah dilatih untuk bisa membaca dan membiasakan untuk menghafal rumus-rumus huruf dan logika matematika. Hingga anak pandai untuk membaca, menulis dan berdiskusi, ini adalah bentuk pembelajaran yang hanya menekankan pada aspek kognitifnya saja.
Namun tidak menekankan pada aspek lain seperti afektif dan psikomotoriknya. Seharusnya seorang anak tidak hanya diajarkan untuk bisa, akan tetapi nilai-nilai afeksinya tumbuh. Yakni akan bisa memiliki kecintaan atau kegemaran untuk membaca, menulis maupun berdiskusi.
Mengajarkan dalam bentuk bisa (kognisi) itu sangatlah mudah, namun untuk menjadi sebuah kebiasaan (afeksi) itulah yang sulit. Maka seorang guru dituntut untuk dapat menularkan kebiasaan atau kecintaan terhadap dunia menulis dan membaca.
Minat baca masyarakat
Jika hal di atas terjadi di sekolah, maka perlu diupayakan kolaborasi menumbuhkan minat baca masyarakat. Sebab persoalan ini saling terkait antara pemerintah, sekolah dan keluarga.
Jika di kelas atau sekolah, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan proses yang terus berkelanjutan. Pertama, seorang guru juga harus memiliki kegemaran membaca dan menulis, sebagai alat respon kepada siswa.
Kedua, membiasakan kepada siswa untuk membeli buku, lalu mengadakan bedah buku dengan diskusi bukan kegemaran untuk membelanjakan uangnya beli pulsa.
Ketiga, melalui pembelajaran dengan model problem based learning atau pembelajaran dengan permasalahan. Siswa diberikan masalah dan disuruh untuk mencari baik di media maupun perpustakaan.
Keempat, sering-seringlah mengajak siswa untuk mengunjungi perpustakaan dan melakukan studi banding ke toko buku maupun kantor-kantor penerbitan. Bawasanya untuk menghasilkan buku maupun karya tulis itu sangatlah sulit, jika tidak memiliki kemampuan akan kecintaan terhadap membaca dan menulis.
Begitu juga dengan pemerintah dituntut untuk aktif memberdayakan dan mengupayakan yang saat ini sudah berkembang seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Tidak dapat lepas juga peran keluarga, selayaknya memberikan kehidupan di rumah dengan membudayakan kegiatan membaca seperti Living Books. Sesungguhnya pendidikan merupakan bentuk pembiasaan yang baik, maka siswa seharusnya diajarkan yang baik-baik. (Luk)