BARISAN.CO – Indonesia seperti rumah bagi gunung-gunung api. Setidaknya ada 400 gunung api hidup di sini dan 127 di antaranya berstatus aktif. Merapi menjadi salah satu gunung berapi teraktif. Sejarah mencatat telah terjadi 80 kali letusan sejak 1768.
Meletusnya Merapi tersebut kerap menimbulkan kerugian dan kerusakan material, serta menelan korban jiwa. Lantas bagaimana kesiapan pemerintah dalam menghadapi bencana meletusnya gunung Merapi ini?
Sejak tahun 1945, pemerintah sangat serius mengatasi bencana alam di Indonesia dengan membentuk tim atau lembaga khusus. TKP2BA (Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam) dan Bakornas PBP (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi) misalnya.
Pemerintah kemudian melegalisasi lembaga tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Kini BNPB tak hanya terpusat di Jakarta tapi juga di daerah-daerah. “Di berbagai daerah pun ada yang namanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Ini fungsinya untuk pos-pos di berbagai daerah. Karena pada saat ada bencana, mereka tidak bisa hanya menunggu BNPB pusat saja, melainkan ada beberapa pos-pos di tiap daerah yang sigap untuk memantau perkembangan bencana,” papar Dewan Pengarah BNPB Bambang Munadjat pada acara Mimbar Virtual Barisanco, Selasa (29/12/2020).
Baik BNPB maupun BPBD mempunyai kemudahan akses dalam pengelolaan kebencanaan meliputi pengerahan sumber daya manusia, peralatan dan logistik, serta perizinan, imigrasi, cukai dan karantina. Kemudian penyelamatan, komando untuk memerintahkan sektor/lembaga, pengadaan barang/jasa, pengelolaan uang dan barang.
“Kemudahan tersebut tercantum pada Undang-Undang No. 24 tahun 2007 pasal 50 ayat 1 tentang penanggulangan bencana,” ujar Bambang.
Dalam pasal tersebut penanggulangan bencana dilakukan sejak pra bencana hingga pasca bencana. Pada tahap pasca bencana, baik BNPB maupun BPBD melakukan koordinasi, pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan melalui EWS (Early Warning System) atau sistem peringatan dini, simulasi evakuasi, building code atau aturan kontruksi bangunan, dan pengurangan risiko bencana.
Sementara pada tahap keadaan darurat, BNPB dan BPBD melakukan koordinasi dan penanganan langsung ke lokasi bencana, serta melakukan pendampingan kepada para korban bencana.
Beberapa hal yang dilakukan seperti penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi dari air bersih, sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan hingga psikososial. Perlindungan terhadap kelompok rentan seperti bayi, wanita dan lansia juga menjadi prioritas.
Setelah memasuki tahap pasca bencana, kedua lembaga tersebut tetap saling berkoordinasi untuk melakukan rehabilitasi dan rekontruksi bangunan.
“Tapi biasanya waktu proses rencana dan aksi lama karena sulitnya mendapat lahan relokasi,” ungkap praktisi tambang, kebencanaan dan hydrologist ini.
Meski BNPB dan BPBD menerapkan siklus penanggulangan bencana dengan baik, keselamatan orang tetap tergantung pada dirinya sendiri. Studi penelitian menyebutkan sebanyak 94,90 persen orang selamat karena evakuasi mandiri. Peran tim rescue dalam penyelamatan hanyalah 1.65 persen.
Untuk itu pentingnya edukasi kebencanaan, terutama di daerah rawan bencana. Edukasi bisa dimulai dari kepala sekolah, guru, masyarakat hingga pemuka agama.
“Saat ini ada yang namanya Sistem Pendidikan Aman Bencana (SPAB), ini sudah diprogramkan hampir di beberapa tempat. Target dari SPAB adalah anak-anak sekolah, karena anak-anak dianggap sangat cepat menangkap kepedulian lingkungan, kebencanaan dan sebagainya.
Kepala Pusat Pengendalian Operasi BNPB Bambang Surya Putra juga mengimbau masyarakat untuk bisa mitigasi bencana di daerahnya. Mitigasi sangatlah penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan risiko bencana yang cukup tinggi.
“Kita harus tahu tinggal di mana dan risiko bencananya apa. Kalau sudah tahu, kita bisa melakukan persiapan. Tahu ke mana melakukan evakuasi saat terjadi bencana,” kata Bambang, Selasa (19/12/2021).
Ia mengimbau bagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan kemiringan 30 derajat harus lebih waspada atau menghindari tinggal di tempat tersebut. Bagi warga yang tinggal di pinggir pantai, harus bisa mitigasi bila terjadi tsunami. Begitu juga dengan orang yang tinggal di gunung berapi yang aktif, harus selalu siap siaga. Harus tahu bagaimana menyelamatkan diri dan harta bendanya.
Selain edukasi, BNPB juga sudah menyediakan aplikasi handphone yang dapat membantu masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana. Di antaranya aplikasi Data dan Informasi Bencana Indonesia atau DIBI yang menampilkan database kejadian bencana. Untuk mengaksesnya masyarakat bisa mengakses situs gis.bnpb.go.id.
Kemudian ada juga aplikasi InaRISK yang menyajikan informasi potensi risiko bencana di suatu daerah.
Analisis InaRISK memanfaatkan pendekatan raster base secara nasional dengan ukuran pixel 100 x 100 meter, berdasarkan kajian risiko bencana yang terdapat di suatu wilayah atau per kabupaten. InaRISK dapat diunduh di Google Playstore dan Appstore.
Mitigasi Merapi di Tengah Pandemi
Merapi menunjukkan aktivitasnya sejak Oktober lalu. Status Merapi sudah naik level 3 per 5 November. Hingga saat ini statusnya masih sama, Merapi tetap siaga.
Bambang mengatakan Gunung Merapi selalu terpantau. Mitigasi sudah dilakukan termasuk penanganan pengungsi. BNPB dan BPBD terus berkoordinasi satu sama lain.
Upaya yang sudah dilakukan tim BNPB adalah melakukan pendampingan kepada empat BPBD yang terdampak erupsi Merapi. BNPB telah menyalurkan bantuan berupa masker 100.000 lembar, lampu air garam 36 kotak dan 100 baju orange.
Bahkan, mereka memberikan bantuan dana sebesar Rp1 milyar untuk penanganan dampak erupsi Merapi. Selain itu BNPB juga memberi dukungan bagi penanganan para pengungsi terkait penerapan protokol kesehatan (prokes) berupa satu unit mesin antigen, 15.000 catride antigen, 200.000 masker kain, 250 jerigen hand sanitizer masing-masing empat liter kepada BPBD di wilayah masing-masing.
Sementara BPBD sendiri sudah mengevakuasi korban dan hewan ternak, memenuhi kebutuhan dasar pengungsi, melakukan penanganan pengungsi dengan prokes dan berkoordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
BPBD juga melakukan penambangan di alur sungai-sungai yang berhulu di Merapi. Tak hanya itu, mereka melarang pelaku wisata melakukan kegiatan wisata sementara.
“Karena sedang ada pandemi, penanganan bencana Merapi kali ini tentunya berbeda dari sebelumnya. Misalnya saat evakuasi, pengelolaan di pengungsian. Semua di sesuaikan dengan prokes, termasuk di dalamnya juga APD dan masker menjadi kebutuhan vital juga,” jelas Bambang.
Lebih lanjut Bambang mengatakan jumlah pengungsi saat ini sekitar 306 jiwa yang tersebar di dua titik pengungsian. “Mereka dalam kondisi baik dan aman,” tutup Bambang. []
———-
Indeks Laporan:
- Erupsi Merapi Menunggu Waktu
- Erupsi Merapi dan Kiai Petruk, Bukan Bencana Tapi Berkah
- Muntilan, Distrik Surgawi bagi Penambang Pasir Merapi
- Merapi dan Mitigasi
Penulis: Putri Nur Wijayanti & Yusnaeni
Diskusi tentang post ini