Banyak orang percaya, rasa bosan sama dengan berkurangnya produktivitas. Padahal, merasa bosan itu normal bahkan memiliki banyak manfaat.
BARISAN.CO – Kita semua mungkin terkadang merasa bosan. Kebosanan itu bahkan bisa muncul tiba-tiba.
Itu adalah sesuatu yang normal. Ya, normal karena manusia memiliki emosi yang naik turun.
Kebosanan dapat muncul dalam dua cara yaitu lesu (merasa lelah) atau agitasi (merasa jengkel).
Sebuah studi menemukan, rata-rata orang dewasa di Amerika Serikat mengalami 131 hari kebosanan per tahun. Bayangkan, itu hampir sepertiga waktu dalam setahun.
Banyak orang percaya, rasa bosan sama dengan berkurangnya produktivitas.
Namun, kebosanan itu sebenarnya bermanfaat, lho! Mengutip Psychology Today berikut ini 5 manfaat dari kebosanan.
- Kebosanan dapat meningkatkan kesehatan mental kita. Di era informasi ini, otak kita dipenuhi dengan informasi dan gangguan. Kekayaan informasi berarti kelangkaan perhatian (Wojtowicz, et al., 2020). Perhatian menggunakan sumber daya kognitif seseorang yang terbatas untuk kegiatan produktif. Jadi, dengan mengambil waktu beristirahat bisa menjadi kesempatan berharga untuk membantu otak kita yang kelebihan beban menjadi rileks dan mengurangi stres. Sangat bermanfaat untuk menjauh dari media sosial dan stres lainnya cukup lama untuk merasa bosan.
- Kebosanan dapat meningkatkan kreativitas. Kebosanan dapat memberikan kesempatan untuk berbalik ke dalam dan menggunakan waktu untuk berpikir dan refleksi. Kebosanan dapat mengaktifkan kreativitas dan pemecahan masalah dengan membiarkan pikiran mengembara dan melamun. Dalam sebuah penelitian (Mann, 2018), orang dipaksa melakukan tugas yang membosankan (misalnya, membaca laporan atau menghadiri pertemuan yang membosankan). Tugas-tugas membosankan mendorong pikiran mereka mengembara, yang mengarah pada cara berpikir kreatif. Studi menunjukkan bahwa dengan kegiatan duniawi kita menemukan ide-ide yang berguna. Dengan tidak adanya rangsangan eksternal, kita menggunakan imajinasi kita dan berpikir dengan cara yang berbeda.
- Kebosanan memotivasi pencarian hal baru. Tanpa kebosanan, manusia tidak akan memiliki selera untuk berpetualang dan mencari kebaruan yang menjadikan kita apa adanya—cerdas, ingin tahu, dan terus mencari hal berikutnya (Bench & Lench, 2013). Pencarian kebaruan menyiratkan ketidakpuasan dengan status quo, dan kesediaan untuk menantang gagasan dan praktik yang sudah mapan. Prestasi besar difasilitasi dengan ketidakpuasan dengan status quo. Goldberg (2009) menulis bahwa Christopher Columbus penjelajah dunia yang hebat tidak akan pernah memulai perjalanannya yang hebat seandainya dia tidak mengalami disforia temperamental dan seandainya Prozac tersedia pada masa itu.
- Kebosanan memotivasi mengejar tujuan baru. Kebosanan adalah sinyal emosional bahwa kita tidak melakukan apa yang ingin kita lakukan (Elpidorou, 2014). Bosan berarti bahwa kita saat ini terlibat tidak hanya dalam situasi yang tidak menarik atau tidak menantang, tetapi juga dalam situasi yang gagal memenuhi harapan dan keinginan kita. Kebosanan mendorong kita untuk beralih ke tujuan dan proyek yang lebih memuaskan daripada yang sedang kita kejar.
- Kebosanan dan keterampilan pengendalian diri. Kebosanan mempengaruhi kemampuan untuk fokus dan memperhatikan karena minat hilang. Di antara siswa, kebosanan mengakibatkan pelepasan diri dari kelas dan kinerja yang buruk. Mereka bisa merasa bosan ketika mereka kekurangan sumber daya kognitif untuk fokus. Kemampuan untuk fokus dan mengatur diri sendiri berkorelasi dengan kemampuan mengatasi kebosanan. Belajar menahan kebosanan di usia muda adalah persiapan yang bagus untuk mengembangkan keterampilan pengendalian diri (mengatur pikiran, emosi, dan tindakan seseorang).
Selama mengalami kebosanan, nikmati waktu untuk melakukan hal yang kita inginkan. Misalnya dengan menyaksikan film, pergi jalan-jalan, hangout dengan teman-teman, atau sekadar menghadiahkan diri sendiri makan sendiri di luar. Setelahnya, kembalilah dengan pikiran yang lebih fresh dan ide baru.