Padahal saat itu saya “mencuri” metode Sigit Susanto, penulis asal Boja, Kendal yang tinggal di Swiss, untuk membaca teks-teks karya Kuntowijoyo. Buku pertama Kuntowijoyo yang dibaca berbarengan adalah Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Kami beranggapan, buku itu karya masterpiece Pak Kunto. Dengan metode Reading Group, kami belajar menghargai karya besar sejarawan kondang itu.
Namun, apa pun itu, segala upaya untuk merawat perjamuan ide, terutama pemikiran Kuntowijoyo, patutlah diupayakan, di tengah arus deras media sosial. Karya-karya sastranya yang bersifat profetik tidak hanya berkutat di lingkaran kecil akademisi dan mahasiswa. Substansi sastra profetiknya sedianya menyentuh banyak pihak, menjadi penghayatan banyak kalangan.
Ya, apa boleh buat, Kuntowijoyo sudah lama pulang ke pangkuan-Nya. Dan, kita tidak bisa lagi memintanya untuk mengajari umat menghayati Indonesia sebagai medan aktualisasi etika profetik. “Saya tidak pernah menyebut hasil sastra saya sebagai sastra Islam, tidak karena sastra saya bukan ibadah.” tulis Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik.
Kuntowijoyo mengkritisi, umumnya orang mendefinisikan sastra Islam terlampau sempit, sebagai sastra yang (hanya) menggugah kesadaran ketuhanan. “Padahal kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran Sastra Profetik.” ungkapnya.