Scroll untuk baca artikel
Blog

Meredam Kekerasan & Konflik di Indonesia Timur

Redaksi
×

Meredam Kekerasan & Konflik di Indonesia Timur

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COKonflik di Indonesia Timur masih terjadi dalam bermacam skala. Banyak di antaranya disulut demi kepentingan ekonomi dan politik dan, pada gilirannya, acap berakhir dengan mengorbankan keselamatan masyarakat.

Namun, kondisi demikian nyaris tertutup dalam pemberitaan maupun perbincangan publik. Media-media di Indonesia terhitung amat jarang memberitakan tentang Indonesia Timur, seolah tidak ada suatu apa yang serius di sana.

Tentang hal media, seperti disebutkan dalam diskusi LP3ES, Jawa dan Jakartasentrisme masih menjadi gejala buruk media kita. Pemberitaan Jawa mendominasi dengan 42,8%, Betawi 8,5%, Sunda 8%, Minang 8%, Bali 7,5%, Tionghoa 6%. Batak 3,5%, Dayak 3%, Bugis 2%, Ambon 1,5%, Dani 1,5%, dan lainnya 8%.

Maluku dan Papua sering luput dari pemberitaan. Padahal di sanalah konflik terus bergolak, dan dalam banyak hal, konflik di sana selalu beririsan dengan isu-isu strategis lainnya seperti pembangunan infrastruktur, pengabaian HAM, dan kerusakan lingkungan—kesemuanya bukan masalah ringan.

Kenyataan demikian agaknya penting dijadikan catatan, bagi media khususnya dan bagi masyarakat umumnya.

Mencegah Eskalasi Konflik

Alexandre Pelletier, dalam paparannya di acara diskusi LP3ES, Selasa (23/3), mengatakan bahwa kekerasan antaragama/antaretnis cenderung terjadi saat politikus memiliki kepentingan di mana ia dapat mengambil keuntungan dari konflik tersebut.

“Kekerasan juga terkadang berguna bagi politisi sehingga mereka menciptakan konflik tersebut … (konflik bisa juga) disebabkan oleh persaingan agama dan persaingan pemimpin muslim untuk mendapatkan religius capital.” Kata Alex, yang merupakan Visiting Fellow Cornell University.

Dalam penelitiannya tentang konflik Ambon, ditemukan bahwa jaringan masyarakat sipil antarkelompok agama merupakan faktor penting untuk perdamaian. Namun, peredaman konflik hanya dapat terjadi jika ada sistem yang ditujukan khusus untuk menangani konflik.

Sistem tersebut kemudian harus dipelihara sehingga dapat tetap menginvestasikan ketenagaan dan sumber daya miliknya. Lebih penting dari itu, sistem tersebut haruslah dilembagakan dan menampilkan peran pemimpin lokal non-negara di dalamnya. Dengan dua hal itulah penurunan konflik dapat diupayakan.

“Namun sistem ini hanya akan muncul jika ada ekonomi politik yang mendorong para pelaku mendukung sistem tersebut. Kepentingan pelaku perdamaian juga menjadi hal yang perlu diperhatikan.” Katanya dalam keterangan tertulis.

Deeskalasi Konflik & Peran Agama

Di Indonesia Timur, Maluku khususnya, identitas agama adalah pegangan penting yang memengaruhi bentuk konflik dan proses perdamaian. Hal ini dikarenakan desain lembaga pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari masyarakat Ambon yang sangat kuat dipengaruhi ikatan emosi berbasis agama.

Berkaca pada Ambon hari ini, terlihat bagaimana sistem deeskalasi konflik sudah demikian terpelihara. Sistem yang telah dilembagakan di sana mempermudah usaha perdamaian oleh LSM dan pemimpin agama.

Tidak pernah ada lagi konflik besar terjadi di Ambon setelah perjanjian Malino pada tahun 2002. Potensi kekerasan selalu dapat cepat ditangani dan tidak menyebar karena ada sistem yang memungkinkan para pemimpin sigap mengambil keputusan sebelum konflik berkecamuk.

Hanya saja, seperti terungkap dalam paparannya LP3ES, masih ditemukannya konflik dalam bermacam skala hingga sekarang, serta masih adanya konflik antaragama yang tidak dapat terhindarkan, menunjukkan keterbatasan negara dalam menjaga kedamaian dan mencegah terjadinya perpecahan.

Maka, untuk mengarahkan kondisi sosial ke arah minimnya kekerasan, tidak cukup dengan hanya mengandalkan lembaga pemerintah. Upaya ke sana harus pula melibatkan aktor-aktor dan lembaga non-pemerintah. Agar usaha proses perdamaian dapat berhasil, diperlukan pula pemberian insentif jangka panjang kepada orang-orang yang terlibat dalam deeskalasi konflik.