Scroll untuk baca artikel
Opini

Meredam Krisis dengan Nurani dan Empati

Redaksi
×

Meredam Krisis dengan Nurani dan Empati

Sebarkan artikel ini

Masih ingat dengan nama Muhammad Syaugi? Ia Kepala Basarnas saat Lion Air bernomor JT-610 jatuh di perairan Karawang, 29 Oktober 2018. Dalam sebuah konferensi pers yang saya ingat betul, Pak Syaugi membuat seisi ruangan terdiam ketika ia berbicara sambil terisak. Ia tak kuasa menahan tangis di tengah kebuntuan timnya mencari korban pesawat jatuh. Video Pak Syaugi itu viral, mudah menemukannya.

“Kami memahami, bahwa kami bukan manusia super. Bukan manusia yang sempurna. Kami tetap berusaha sekuat tenaga dengan yang kami miliki. Kami yakin bisa mengevakuasi saudara-saudara kami ini.” Ujar Pak Syaugi dalam konferensi pers itu.

Kemungkinan besar, saya bukan satu-satunya yang merasakan empati dalam tiap ucapan Pak Syaugi. Terasa betul ia menghayati jabatannya sebagai amanah dan tanggung jawab. Dan penghayatan yang baik, Anda tahu, acap kali menjelma menjadi pengalaman intens yang dapat menggerakkan pikiran orang, bahkan membentuk ikatan batin.

Anda juga tahu, di taraf tertentu, ikatan batin antarindividu sering menjadi awal tindakan nyata untuk keluar dari penderitaan. Celakanya, di hari-hari pandemi ini, tidak ada ucapan pemerintah yang dapat mengikat batin masyarakat. Jangan mengikat batin, bisa dikenang dua hari secara positif saja tidak. Dan sebagai gantinya kita hanya menenggang ucapan kosong dan ungkapan-ungkapan mati setiap hari.

Pemerintah seperti ‘gagal sastra’, dan kita terpaksa harus membiasakan diri terhadap informasi yang disampaikan secara pas-pasan. Akibatnya, kematian akibat wabah pun makin dipahami sebagai hal biasa. Mungkin kita masih merasa bersalah saat mendengar orang mati. Tapi kita jarang dibawa merasa betul-betul bersalah sampai tergerak ikut menyetop wabah dengan cara-cara yang sebetulnya tidak sulit dilakukan.

Atau memang, lebih dari gagal sastra, pemimpin kita tidak punya empati? Dugaan ini menakutkan. Kalau kita lihat dari teori-teori bernegara model manapun, jelas pemerintah harus hadir saat masyarakatnya dilanda krisis. Bahkan dalam kalimat harfiah, jika seorang warga mendatangi pemerintah dan mengaku sedang lapar, pemerintah tidak boleh membiarkan dia pulang dalam keadaan perut kosong.

Namun cukup sulit mengatakan hal semacam itu sudah terjadi. Alih-alih kita dibiarkan menanggung apa-apa sendiri. Sakit sendiri, miskin sendiri, lapar sendiri.

Pertama-tama kita dibiarkan sakit. Lebih dari itu, bahkan pemerintah sempat beranggapan bahwa Covid-19 menyebar karena masyarakatlah yang ignorant dan susah diatur. Sehingga keseluruhan beban pandemi ditanggungkan kepada masyarakat, sementara instrumen dan kemampuan mengatur yang dimiliki pemerintah jarang disinggung-singgung.

UU Kekarantinaan Kesehatan? Lupakan. Ongkosnya terlalu besar, dan pemerintah enggan mengongkosi masyarakat (termasuk hewan ternaknya) untuk bisa makan cukup tiap hari. Pada titik inilah kita yang miskin tetap harus keluar rumah meski terancam wabah, karena kelaparan di dalam rumah bukanlah pilihan yang waras.

Baiklah. Bahwa pemerintah terlambat mengantisipasi Corona, publik sudah memaklumi. Bahwa statistik Corona terus naik, publik masih menaruh harapan. Tetapi sulit dipahami jika masyarakat mayoritas, yaitu mereka yang belum terinfeksi wabah, papa, dan terampas hak-hak ekonominya, harus juga menanggung kelaparan tanpa kehadiran pemerintah.

Saya pikir, krisis pangan tidaklah muluk-muluk untuk terus dikabarkan. Dari pendapat ahli yang saya ikuti secara khidmat, saya dapati ancaman itu ada, terutama berkaitan soal distribusi pangan yang masih carut-marut. Singkat cerita: Untuk kasus Indonesia, kebanyakan orang lapar bukan karena tidak ada sesuatu untuk dimakan, melainkan lebih disebabkan orang tidak bisa memiliki makanan.