Scroll untuk baca artikel
Blog

Meredam Krisis dengan Nurani dan Empati

Redaksi
×

Meredam Krisis dengan Nurani dan Empati

Sebarkan artikel ini

UU Kekarantinaan Kesehatan? Lupakan. Ongkosnya terlalu besar, dan pemerintah enggan mengongkosi masyarakat (termasuk hewan ternaknya) untuk bisa makan cukup tiap hari. Pada titik inilah kita yang miskin tetap harus keluar rumah meski terancam wabah, karena kelaparan di dalam rumah bukanlah pilihan yang waras.

Baiklah. Bahwa pemerintah terlambat mengantisipasi Corona, publik sudah memaklumi. Bahwa statistik Corona terus naik, publik masih menaruh harapan. Tetapi sulit dipahami jika masyarakat mayoritas, yaitu mereka yang belum terinfeksi wabah, papa, dan terampas hak-hak ekonominya, harus juga menanggung kelaparan tanpa kehadiran pemerintah.

Saya pikir, krisis pangan tidaklah muluk-muluk untuk terus dikabarkan. Dari pendapat ahli yang saya ikuti secara khidmat, saya dapati ancaman itu ada, terutama berkaitan soal distribusi pangan yang masih carut-marut. Singkat cerita: Untuk kasus Indonesia, kebanyakan orang lapar bukan karena tidak ada sesuatu untuk dimakan, melainkan lebih disebabkan orang tidak bisa memiliki makanan.

Organisasi dunia seperti FAO sudah mengingatkan, setelah Corona, krisis pangan akan menjadi ancaman serius. Kitapun sudah mendengar komitmen dari Pak Jokowi tentang hal ini. Separuh orang percaya Jokowi, separuhnya tidak. Kalau Anda termasuk kelompok kedua, Anda perlu terus bersuara agar soal kelaparan selalu menjadi top of mind Bapak Presiden. Apalagi dia terkenal sebagai pelupa tingkat patologis. []