Mata Budaya (6)
Harus kita sadari, dunia sekarang sudah dikendalikan oleh mesin politik. Manusia hanya menjadi sekrup dari mesin besar politik.
Terlebih di negara dengan multi partai, perilaku manusia digerakkan oleh syaraf politik. Terutama saat perbedaan ideologi membelah golongan masyarakatnya, konflik berkepanjangan berlangsung tanpa batas waktu. Tanpa bisa dicegah oleh virus paling mematikan, Corona.
Runtuhnya tembok Berlin penanda dimulainya perang dunia ketiga tanpa nuklir. Lanjut berakhirnya sosialisme Rusia adalah penanda awal kebangkitan kapitalisme global. Sekaligus inilah mula kiamat ideologi-ideologi dunia. Bukan lantaran nuklir atau virus, melainkan semata oleh politik bunuh diri.
Ya, ideologi-ideologi besar dunia bunuh diri, oleh ketercekaman mau menjelma ABG. Komunisme, kapitalisme, liberalisme bunuh diri. Lalu mimpi terbangun menjadi Amrik Baru Gede, ABG itu. ABG-ABG menari salsa dan tango di tiap lini. Di panggung ekonomi, politik, kebudayaan, dalam era rekayasa genetika-chips-teknologi.
Di Indonesia penjelmaan ABG harus ditebus dengan peristiwa politik berdarah 1965. Tanpa mengulang data ribuan nyawa korban penyiksaan, dunia pewayangan seperti telah meramalkan. Seperti yang dikisahkan kembali oleh Yanusa Nugroho, dalam novel “Di Batas Angin”.
Kisah tentang sang despot jendral besar Soemantri bersama saudaranya Rakyat, Kakasrana, yang kesaktiannya tiada tara. Kakasrana bau tanah lumpur sawah desa dibunuh justru setelah sukses memperjuangkan sang despot demi Dewi ABG, Citrawati (namanya saja ada pencitraannya).
Tapi tunggu dulu, adalagi kisah Wisrawa yang menghabisi rakyat, Arya Jambumangli, demi Dewi Sukesi (boleh baca suksesi). Betapa Arya (besar) dipotong kedua kaki, kedua tangan, dipenggal kepala.
Tapi kepala Arya masih berujar: kelak keturunanmu akan mengalami kematian sama. Terbukti, anak Wisrawa dan Suksesi, Rahwana, di hari akhirnya terjepit dua tebing, tak mati tak hidup.
Selesaikah kisah tentang kekuasaan. Fenomena ABG bukan soal suksesi atau kudeta. Lebih dari itu lihatlah bagaimana ABG dimanjakan oleh struktur dan sistem kapitalistik.
Hidup dalam gelimang pesta pora dunia industri bahkan percepatannya, dalam kebersamaan penuh alpa. Pun walau sendiri tetap tidak mau sepi, berteman dalam bayangan Tuhan subyektif dan impian obsesif keduniaan.
Maka kala muncul persoalan kecil, mereka akan mengalami paranoid akut. Betapa maha kecil Corona bahkan tidak kasat mata, dan mereka dicekam halusinasi hingga puncak delusi. Seperti terjadi perang dunia tanpa nuklir. Manusia sedunia bersiap melawan Covid-19.
Bisa jadi setelah perang dunia ketiga kiamat sosialisme dan kemenangan kapitalisme global, sekarang inilah tengah berlangsungnya perang dunia ke empat kiamat kapitalisme dan bangkitnya kembali sosialisme.
Lalu who’s who Corona dan mengapa-bagaimana Covid-19. Bisa jadi itu fatamorgana, bahwa yang terjadi sesungguhnya seperti yang diramalkan Karl Marx: kapitalisme akan menggali kubur sendiri.***