Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – Pemerintah melaporkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan 31 Oktober 2020 telah defisit sebesar Rp764,89 triliun. Defisit tersebut dihitung dari realisasi pendapatan negara sebesar Rp1.276,91 triliun, yang tidak mencukupi bagi kebutuhan realisasi belanja negara yang mencapai Rp2.041,79 triliun.
Kondisi defisit itu tidaklah mengejutkan, karena memang direncanakan sebesar Rp1.039,22 triliun selama tahun 2020. Mengingat masih akan ada realisasi selama dua bulan terakhir, maka risiko defisit yang lebih lebar masih menjadi tantangan pengelolaan APBN.
Pendapatan sebenarnya telah mencapai 75,11% dari target yang ditetapkan oleh Perpres 72, sebagai perubahan kedua atas APBN 2020. Namun, turun 15,35% jika dibanding realisasi pada kurun waktu yang sama pada tahun 2019. Dampak pandemi covid-19 tampaknya sangat signifikan dalam hal ini.
Penerimaan Perpajakan telah mencapai 70,56% dari target, namun turun 15,58% dibanding realisasi tahun 2019. Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bahkan mencapai 94,79% dari target. Terutama karena perkembangan kondisi harga komoditas yang lebih baik dari prakiraan. Meski demikian, jika dibanding realisasi tahun 2019, terjadi penurunan PNBP hingga 16,34%.
Pendapatan masih akan terus bertambah dalam dua bulan terakhir nanti. Sayangnya, meskipun persentase capaian atas target hingga akhir Oktober jauh lebih baik dari tahun lalu, diprakirakan masih sulit untuk memenuhi target yang sebesar Rp1.699,95 triliun. Berdasar data historisnya, realisasi sekitar 75% pada akhir Oktober, hanya akan mampu menghasilkan capaian sekitar 96% hingga akhir tahun.
Pertimbangan lain adalah pertumbuhan ekonomi yang ternyata terkontraksi lebih dalam dari prakiraan yang menjadi asumsi Perpres No.72/2020. Dampaknya terutama pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Keduanya bisa dipastikan tidak akan sesuai harapan atau targetnya.
Kesulitan untuk mencapai target PPh dan PPN terindikasi dari realisasinya hingga akhir oktober. Ketika realisasi pendapatan keseluruhan mencapai 75,11% dari target, PPh hanya sebesar 71,16% dan PPN hanya sebesar 64,82%. Capaian keduanya hingga akhir tahun diprakirakan akan di bawah 95% dari targetnya.
Secara keseluruhan, penulis memprakirakan pendapatan negara hanya akan mencapai 96% dari target APBN 2020 (Perpresnomer 72). Secara nominal, sekitar Rp1.630 triliun dari Rp1.699,95 triliun yang ditargetkan.
Sementara itu, realisasi belanja negara hingga akhir Oktober telah mencapai Rp2.041,79 triliun. Realisasi tersebut merupakan 74,54% dari pagu yang ditetapkan oleh Perpres No.72/2020. Jika tidak ada kebijakan khusus yang berbeda dari rencana semula, maka serapan anggaran akan sekitar 98-99% hingga akhir tahun.
Dengan tekad Pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi secepat mungkin, maka tidak akan ada upaya pengereman belanja selama waktu tersisa. Belanja negara masih diyakini sebagai faktor penting dalam mendinamisasi ekonomi. Disamping itu, kebiasaan realisasi yang dikebut pada triwulan terakhir tahun anggaran akan turut berkontribusi. Secara teknis pun, banyak belanja yang sebenarnya telah hampir pasti akan dikeluarkan dalam waktu tersisa.
Penulis memprakirakan serapan belanja akan berada di kisaran 98-99% dari targetnya. Nilai belanja hingga akhir tahun akan mencapai Rp2.700 dari target sebesar Rp2.739,17 triliun.
Dengan demikian, maka defisit tahun 2020 diprakiraan mencapai Rp1.070 triliun. Lebih besar dari yang direncanakan Perpres No.72/2020 yang hanya sebesar Rp1.039,22 triliun.
Kondisi tampak menjadi lebih buruk jika dilihat dalam target rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB). Targetnya adalah sebesar 6,34%. Yang diperhitungkan dari defisit sebesar Rp1.039,22 triliun atas PDB yang diasumsikan sekitar Rp16.390 triliun.
Jika realisasi PDB sesuai asumsinya, maka rasio akan meningkat menjadi 6,53%. Diperoleh dari prakiraan defisit Rp1.070 triliun atas nilai PDB yang diasumsikan oleh Perpres No.72/2020.
Padahal, realisasi PDB sejauh ini mengarah pada besaran nilai yang lebih rendah dari. Pertumbuhan ekonomi ternyata terkontraksi lebih dalam, sedangkan tingkat inflasi masih tetap terkendali. Sebagaimana diketahui, besaran PDB yang dipakai sebagai ukuran rasio merupakan PDB atas dasar harga berlaku. Meski pertumbuhan ekonomi terkontraksi (minus), nilainya masih bisa bertambah dibanding tahun 2019, dengan adanya faktor tingkat inflasi.
APBN Kita edisi Nopember 2020 secara implisit telah sedikit menurunkan asumsi nilai PDB, dengan menyebut realisasi defisit sementara sebagai 4,67% terhadap PDB. Oleh karena defisitnya sebesar Rp764,89 triliun, maka PDB diasumsikan sebesar Rp16.378,76 triliun. Sedikit lebih kecil dari asumsi Perpres No.72/2020 di atas.
Penulis sendiri memprakirakan PDB tahun 2020 secara nominal hanya akan di kisaran Rp16.100 triliun. Perhitungannya berdasar asumsi pertumbuhan ekonomi yang akan terkontraksi sekitar 2%, dan tingkat inflasi yang masih terkendali sekitar 3,5%.
Perhitungan selanjutnya, membandingkan prakiraan defisit penulis (Rp1.070 triliun) dengan prakiraan nilai PDB nominal tersebut. Akan diperoleh rasio defisit sebesar 6,65%. Lebih lebar dari targetnya yang sebesar 6,34%.
Realisasi APBN tahun 2020 yang demikian akan makin membebani pelaksanaan APBN tahun 2021. Target Pendapatan Negara APBN 2021 sebesar Rp1.743,65 triliun membutuhkan kenaikan sebesar 6,97% untuk mencapainya. Menjadi kurang realistis dibanding rencana semula yang hanya butuh kenaikan 2,57%.
APBN 2021 merencanakan rasio defisit sebesar 5,07% atas PDB. Dengan target pendapatan yang makin berat dicapai, sementara belanja masih akan tetap digenjot karena berbagai alasan, maka defisit kembali melampaui target. Sejauh ini, Pemerintah masih bersikeras untuk meningkatkan belanja dengan narasi mitigasi dampak pandemi dan mendorong pemulihan ekonomi.
Dampak langsung dari defisit yang akan melebar pada tahun 2020 dan pelebaran yang berpotensi berlanjut pada tahun 2021, maka kebutuhan akan utang menjadi bertambah besar. Pembiayaan utang akan melebihi rencana semula.
Realisasi Pembiayaan Utang sendiri hingga akhir Oktober 2020 baru mencapai Rp958,63 triliun. Nilai itu merupakan 78,54% dari rencana Perpres No.72/2020 yang sebesar Rp1.220.46 triliun. Namun, berdasar catatan historis realisasinya, pembiayaan utang lah yang paling sering mencapai kisaran target 100% nya. Di masa lalu, bahkan dimungkinkan melampaui pagunya jika ada alasan teknis yang telah diberi payung hukum pada pasal-pasal APBN tahun bersangkutan.
Dampak pandemi covid-19 memang membuat pengelolaan APBN menjadi lebih sulit. Pemerintah dihadapkan pada berbagai dilema pilihan kebijakan. Meski demikian, upaya pengendalian defisit tetap merupakan hal paling serius. Jika memilih kebijakan yang keliru, maka yang terancam adalah keberlanjutan fiskal. Pemerintah mungkin saja bisa mengatasi soalan pada tahun berjalan, namun menyemai masalah yang makin berat di masa mendatang.
Alarm peringatan tentang ancaman defisit yang bermuara pada peningkatan utang dan beban pembayarannya jelas telah berbunyi nyaring. Alarm itu mengingatkan kebutuhan perbaikan kebijakan pengelolaan APBN yang lebih mendasar serta paradigmatik. Bukan dengan cara lebih mengedepankan hal lain secara berlebihan. Seperti narasi kebijakan seolah segalanya akan teratasi. Apalagi dengan klaim, kondisi kita masih lebih baik dari banyak negara lain.
*Awalil Rizky; Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri
Diskusi tentang post ini