Oleh: Awalil Rizky & Rachmawati
Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Desember 2020 mencapai US$417,5 miliar. Meningkat 3,46 persen dibanding akhir Desember 2019. Laju kenaikan ini terbilang rendah jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, utang dan beban pembayaran utang bersifat akumulasi, sehingga cukup memberatkan dalam kondisi perekonomian Indonesia terkini.
ULN sering disalahartikan sebagai utang pemerintah dalam perbincangan netizen. Meski berkaitan erat, namun berbeda cakupan datanya. ULN terdiri ULN pemerintah, ULN Bank Indonesia dan ULN swasta. Sedangkan utang Pemerintah tidak hanya berupa ULN, melainkan juga yang berupa utang dalam negeri.
ULN didefinisikan oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk kewajiban penduduk Indonesia kepada bukan penduduk dalam kurun waktu tertentu yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan pokok pada waktu yang akan datang. Pengertian penduduk dimaksud mencakup pemerintah, bank sentral, maupun pihak swasta.
Posisi ULN Indonesia pada akhir Desember 2020 merupakan jumlah dari tiga kelompok. Pemerintah sebesar US$206,38 miliar, Bank Indonesia sebesar US$2,87 miliar, dan swasta sebesar US$208,29 miliar.
Pertumbuhan posisi ULN rata-rata per tahun pada tiap era Pemerintahan bisa diperbandingkan. Pada era Jokowi-JK sebesar 6,61 persen, lebih rendah dari era SBY-Boediono sebesar 11,22 persen. Namun lebih tinggi dari era SBY-JK yang sebesar 4,32%, serta era Gus Dur dan Megawati yang justeru turun sebesar minus 0,86%.
Dapat pula diperbandingkan perubahan posisi pada masing-masing akhir era, dengan memakai data akhir tahunnya. Posisi ULN pada akhir 2019 sebesar US$403,56 miliar, naik 37,58 persen dari posisi akhir 2014 yang sebesar US$293,33 miliar. Posisi akhir 2014 naik 69,68 persen dari posisi akhir 2009 yang sebesar US$172,87 miliar. Posisi akhir 2009 naik 22,37 persen dari posisi akhir 2004 yang sebesar US$141,27 miliar. Posisi akhir 2004 turun 4,61 persen dari posisi akhir 1999 yang sebesar US$148,10 miliar.
Dilihat dari komposisinya, ULN swasta naik 3,72 persen dan ULN Pemerintah naik 3,25 persen selama tahun 2020. Selama era reformasi, laju kenaikan ULN swasta tercatat lebih fluktuatif dibanding ULN Pemerintah Namun, dilihat dalam kurun waktu 15 tahun sejak 2007, kenaikan swasta tercatat lebih pesat. Akibatnya, posisi swasta saat ini telah melampaui Pemerintah.
Kondisi ULN swasta perlu memperoleh perhatian khusus dari otoritas, karena nilainya telah melebihi ULN Pemerintah. Pada masa lalu, posisi swasta melampaui Pemerintah terjadi sejak beberapa tahun sebelum krisis 1997/98. Setelah krisis mereda, ULN swasta berangsur turun dan menjadi lebih kecil dibanding ULN Pemerintah hingga tahun 2012. Naik kembali dan melampaui lagi pada periode 2013-2016. Sempat sedikit dibawahnya pada tahun 2017, kemudian posisinya kembali melampaui hingga saat ini.
Salah satu bagian dari ULN swasta ini adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena ini relatif baru terjadi selama tujuh tahun terakhir. Peningkatan ULN BUMN jauh lebih pesat dibanding ULN swasta yang bukan BUMN. Posisinya pada akhir Desember 2020 mencapai US$58,08 miliar.
Porsi itu merupakan 27,89 persen dari total swasta. Porsinya terus mengalami peningkatan. Masih sebesar 18,77 persen pada akhir tahun 2014, dan 10,19 persen pada akhir tahun 2010. Bahkan, baru sebesar 6,51 persen pada tahun 2007.
Bank Indonesia menyajikan data tentang rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai salah satu indikator risiko utang dalam publikasi Statistik Utang Luar Negeri (SULNI). Rasionya pada akhir Desember 2020 mencapai 39,41 persen. Merupakan rasio tertinggi selama belasan tahun terakhir. Hal demikian bisa dianggap mencerminkan terjadinya peningkatan risiko.
Indikator lainnya yang disajikan Bank Indonesia berupa rasio posisi ULN terhadap nilai ekspor sebesar 215,15 persen pada akhir tahun 2020. Meningkat signifikan dari rasio pada akhir tahun 2019 yang sebesar 183,77%. Meski kenaikan posisi ULN terbilang rendah, namun nilai ekspor mengalami penurunan selama tahun 2020.
Analisis risiko utang juga sering fokus pada beban pembayaran utang tiap tahunnya, berupa pelunasan atau pembayaran cicilan utang pokok dan pembayaran bunga. Biasanya beban dikaitkan dengan kemampuan membayar, yang dikenal sebagai rasio beban pembayaran utang atau Debt Service Rasio (DSR).
Ada beberapa cara menghitung DSR, yang membandingkan dua macam arus dana dalam suatu kurun waktu, seperti: tahunan, triwulanan, dan triwulanan yang disetahunkan. Besaran pembilang pada prinsipnya serupa yakni total nilai beban pembayaran. Besaran penyebut merupakan ketersediaan dana. Dapat berupa nilai ekspor, ekspor ditambah penerimaan lain dalam transaksi berjalan, dan lainnya yang serumpun.
DSR berbagai negara dihitung juga oleh Bank Dunia dan disajikan dalam lamannya. Bank Dunia memakai “data mentah” dari bank sentral masing-masing negara, namun melakukan penyesuaian tertentu agar bisa dibandingkan antar negara. Definisinya pada dasarnya serupa dengan sajian Bank Indonesia. Angka penyebutnya adalah beban pembayaran utang pokok dan bunga, sedangkan angka penyebutnya adalah penerimaan ekspor barang, ekspor jasa dan penerimaan pendapatan primer. Besaran penyebut ini merupakan penerimaan dalam transaksi Berjalan. Datanya bersifat tahunan.
Publikasi data Bank Dunia terkini baru sampai dengan tahun 2019. DSR Indonesia dalam versi Bank Dunia telah mencapai 39,42% pada tahun 2019. Besaran rasionya berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sempat menurun signifikan pada tahun 2017 dan 2018, namun meningkat pesat lagi pada tahun 2019.
Penulis memprakirakan DSR nya akan lebih dari 40% pada tahun 2020. Terutama karena angka penyebutnya yang turun, yaitu penerimaan ekpor dan penerimaan pendapatan primer.
Selain yang sudah dibahas di atas, SULNI Bank Indonesia menyajikan data perkembangan indikator. Diantaranya adalah: Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Asal terhadap Total Utang, Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Sisa terhadap Total Utang, Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Asal terhadap Cadangan Devisa, Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Sisa terhadap Cadangan Devisa.
Dari berbagai indikator tersebut, Bank Indonesia masih menilai kondisi akhir tahun 2020 dalam batas aman dan terkendali. Cukup beralasan, karena sejauh batas yang lazim dalam wacana perdagangan internasional dan ketahanan eksternal suatu negara, belum tampak indikasi yang terbilang rawan. Meskipun demikian, tren peningkatan mengindikasikan risiko ULN yang makin meningkat. Merupakan kondisi yang amat perlu diwaspadai oleh otoritas ekonomi, dalam kondisi penuh ketidakpastian ditingkat global dan perekonomian domestik yang belum pulih.
Awalil Rizky & Rachmawati, ekonom Institut Harkat Negeri
Diskusi tentang post ini