Scroll untuk baca artikel
Kolom

Milad Maston Lingkar

Redaksi
×

Milad Maston Lingkar

Sebarkan artikel ini

SAYA mengenalnya pada 1983, saat saya masih kuliah di IKIP-N Semarang, Sampangan, sedaerah dengan rumah awal Maston. Sutradara yang mulai dikenal, atas pentas-pentas grup teater yang dipimpin dan disutradarainya, Teater Lingkar.

Satu kelompok teater yang mengaku diri teater kampung — untuk membedakan dengan teater kampus. Bermarkas di Genuk Krajan, tetangga THR Tegalwareng yang kemudian jadi Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), dan latihannya di halaman Kantor Kelurahan.

Seorang PNS (sekarang ASN) di kantor Provinsi Jateng, yang juga guru teater di SMA-N 1. Siswi-siswi binaannya suka dan rajin latihan teater di sekolah sore hari, karena menurut mereka, Pak Maston mirip Iwan Fals. Penyebutan nama Pak Maston jadi lucu, sebab nama Maston sebetulnya sebutan Mas untuk nama aslinya Hartono.

Sebagaimana kala Teater Lingkar mengundang Rendra baca puisi di GOR Simpanglima (sekarang jadi Citraland) — saat baca puisi si burung merak marak berhonor tinggi — Rendra memanggil Maston: Dik Maston.

Pada tahun-tahun itu, Teater Lingkar sudah puluhan kali pentas. Dan rumah Maston di daerah Sampangan itu menjadi semacam ruang ngobrol dan diskusi seni para seniman. Termasuk Timur Suprabana, dan Emha Ainun Nadjib yang pernah singgah dan menginap. Mbak Dhien, isteri Maston, adalah seorang wanita karier dan ibu rumahtangga yang well come menerima para seniman dengan senyum dan teh manisnya.

Bisa dibayangkan enerji repot suami-isteri ini. Bekerja di kantor, latihan sore hari, dan begitu capai pulang ke rumah sudah ditunggu para seniman untuk ngobrol hingga larut malam. Mbak Dhien juga terlibat di Teater Lingkar sebagai tim artistik, khususnya perancang grafis dan busana.

Rumah Maston adalah rumah perumahan coopel berlantai dua. Hanya lebar lima meteran, seumumnya perumahan. Ini ternyata menyelamatkan, saat terjadi banjir bandang 1990. Maston, Mbak Dhien, pembantu dan tiga anak yang kala itu masih kecil-kecil, bisa menyelamatkan diri ke lantai atas.

Semua perabot dan barang elektronik tenggelam. Hanya satu yang diselamatkan Maston, satu lukisan Bali yang baru dibelinya. Belakangan dengan terbata ia memberi tahu saya, “maaf, Bung, naskah-naskah sampean tidak bisa diselamatkan.”

Ya, saya terlibat di Teater Lingkar sebagai penulis naskah — tiga diantaranya yang kemudian disimpan Mbah Google telah diterbitkan sebagai buku oleh Perpusda Kota Tegal. Nyi Panggung, Ronggeng Keramat, Menunggu Tuyul, adalah termasuk tiga naskah yang dipentaskan Teater Lingkar dengan gaya khas Lingkar, kerakyatan serta guyon maton yang penuh improvisasi segar dan gerr tanpa mengurangi konflik dramanya.

Sebelumnya, perkenalan saya dengan Maston bukan tanpa konflik khas Semarang. Awal saya menyaksikan pentas Teater Lingkar, saya kemudian menulis review-nya di Suara Merdeka. Di situ saya tuliskan, Teater Lingkar sudah puluhan kali pentas tapi sayang tidak menggunakan naskah dewek.

Besok malamnya, Maston dan awak teaternya mendatangi saya di rumah Happy Jl Hawa. Terjadi perdebatan dan diskusi seru. Sampai pada gilirannya jadi cair, saat Maston bilang, “anda kan penulis, coba tulislah naskah drama untuk kami.” Sepakat, sejak itu pun saya mulai menulis lakon untuk Teater Lingkar.

Persahabatan saya dengan Maston sudah seperti saudara sendiri. Pada acara mantu anak perempuan saya pertama yang ditausuyahi Cak Nun, Mastonlah yang mewakili keluarga kami dalam acara temon. Tak kurang dari itu, Mbak Dhien dan Sindhu — atas prakarsa Gus Lukman selaku wali nikah — tampil dalam tembang Mbak Dien dan tarian wayang kulit Sindhu.