BARISAN.CO – Pemerintah berkomitmen dalam mitigasi perubahan iklim yakni untuk menurunkan emisi karbon atau CO2 pada tahun 2030. Sebagaimana program National Designated Authority (NDA), sebuah proyek yang bertujuan untuk membantu pemerintah meningkatkan pengembangan energi panas bumi. Caranya dengan memperkenalkan mekanisme mitigasi risiko hulu yang dirancang dengan baik dan dengan mempromosikan lingkungan regulasi yang kondusif.
Dengan mengembangkan sumber daya panas bumi, proyek ini diharapkan dapat menghindari 102,2 juta ton CO2 dalam jangka waktu 10 tahun, sementara pada saat yang sama memenuhi kebutuhan elektrifikasi.
Sesuai dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang tertuang dalam Paris Agreement. Pada tahun 2030 diharapkan pemerintah mampu menurunkan CO2 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional.
Hal ini tidak dapat lepas saat peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April, Presiden Amerika Serikat Joe Biden membuka pertemuan virtual dengan 40 kepala negara untuk merumuskan dan komitmen penanganan CO2. Presiden Joko Widodo menjadi salah satu kepala negara yang turut andil dalam acara virtual kepala negara tersebut yakni dalam acara virtual Leaders Summit on Climate 2021.
Perlu diketahui bahwasanya Indonesia memiliki potensi sumber daya energi panas bumi terbesar di dunia. Namun pengembangannya terbatas karena biaya pengembangan tahap awal yang berisiko dan mahal.
Hambatan-hambatan ini semakin dipersulit dengan adanya kerangka tarif panas bumi yang harus kompetitif untuk memungkinkan investasi sektor swasta.
Sebagaimana dikutip dari Kumparan, upaya untuk memenuhi target mitigasi perubahan iklim sesuai NDC, Indonesia memerlukan biaya hingga Rp 3.779 triliun.
Angka roadmap NDC
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan totalnya Rp 3.779 persen berdasarkan angka roadmap NDC mitigasi 2020. Namun angka ini akan terus kita pertajam. Kebutuhan dana tersebut hanya sampai target penurunan emisi di 2030.
“Artinya Indonesia masih membutuhkan pembiayaan yang lebih besar lagi untuk mencapai zero emisi di 2060 mendatang. Namun untuk target tersebut, Febrio mengaku pemerintah belum membuat hitung-hitungan rinci soal biaya yang dibutuhkan,” sambungnya dalam konferensi pers virtual, Senin (29/11/2021).
Febrio menegaskan kita ingin punya gambaran yang lebih lengkap berapa, sih, biaya yang kita butuhkan untuk mencapai net zero emission. Ini baru konteks 2030 saja. Jadi angkanya akan lebih besar dari Rp 3.779 triliun itu.
“Dana sebesar Rp 3.779 triliun tersebut tersebar untuk kebutuhan beberapa sektor. Artinya, terjadi perbedaan harga atau biaya dalam upaya menurunkan 1 juta ton emisi di masing-masing sektor,” terangnya.
Menurut Febrio, untuk sektor kehutanan misalnya, hingga 2030 nanti dibutuhkan biaya sekitar Rp 93,28 triliun.
“Sementara untuk sektor energi dan transportasi, dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk menurunkan emisi yaitu mencapai Rp 3.500 triliun,” sambungnya.
Sedangkan sektor industri membutuhkan biaya kurang dari Rp 1 triliun atau tepatnya Rp 920 miliar. Lalu sektor pertanian membutuhkan Rp 4 triliun sementara sektor limbah butuh biaya hingga Rp 181 triliun.
“Limbah agak besar karena ini menyangkut pengelolaan gas metana dan lain sebagainya jadi butuh Rp 180 triliun,” tuturnya.