Scroll untuk baca artikel
Blog

Momok

Redaksi
×

Momok

Sebarkan artikel ini

M O M O K

BARISAN.CO – Banyak cara orang atau negara mengatasi momok. Momok politik hingga wabah penyakit. Satu cara paling populer adalah dengan jalan spiritual. Dari spiritual religius hingga yang bersifat mistik.

Dalam novelnya “Sanu, Invinita Kembar” Motinggo Boesye dengan bagus mengungkap soal cara ini atas politik berdarah 1965. Guna menghindar dari momok politik, bagi yang punya uang lari ke luar negeri. Bagi yang miskin lari ke dunia mistik klenik.

Sebaik-baik karya sastra memang bagaimana mengungkap kenyataan. Mesti untuk kreativitas kerap berhadapan dengan soal kekerasan, eksploitasi sex, ras dan golongan, yang populer dengan istilah isu Sara.

Begitulah kenyataan di seputar tahun 1965. Cerita-cerita lisan tentang jin-setan-bekasakan beredar antara ada dan tiada di tengah masyarakat. Dari hantu si muka rata hingga puknyartingi sosok mayat baru gentayangan lengkap masih ada kapas di muka dan sela jemari.

Di negara maju seperti Amerika, oleh peristiwa konflik politik ras putih dan hitam muncul kisah tentang hantu xlux-xlux xan: berpakaian tertutup putih-putih, menunggang kuda di malam hari, dan siap dengan senjata pencabut nyawa.

Di era pandemi atas wabah virus Corona, tiap negara tampaknya berbeda dalam usaha menanggulanginya. Di Indonesia awal merebaknya covid-19, tampaknya masih bisa mengendalikan. Akan tetapi begitu datang varian baru virus Delta, tampaknya sudah tak terkendali. Hingga Presiden mesti mengeluarkan keputusan PPKM Darurat. Hingga bertahap ke level 4, 3, 2, 1, 0, konon dalam jangka setahun ke depan setelah dua tahun berlangsung wabah mendunia itu.

Bagi yang melanggar, tampaknya hukuman masih longgar, hanya diberi peringatan atau ketentuan 3-M (Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Di India asal virus Delta mewabah, lebih ketat dan keras. Bagi para pengerumun atau melanggar ketentuan, akan digebuk rotan sampai kapok. Berbeda lagi di Singapore, yang mengeluarkan statement, bahwa Covid maupun Delta hanya sejenis flu biasa. Dalam pada itu korban sakit dan nyawa terus terdata, di tingkat nasional atau dunia.

Para ahli taraf internasional hingga kini belum bisa secara pasti mengidentifikasi virus varian terbaru, yang misterinya lebih ganas dari perang. Betapa dalam perang dunia sekalipun, musuh bisa dilihat. Tapi dalam pandemi ini, sang musuh tidak kasat mata, dan kita tidak bisa sembunyi di mana pun. Mau lari ke luar negeri pun, tidak ada satu negara pun terbebas dari virus mematikan itu.

Ya, masih ada jalan untuk setidaknya menenangkan diri, ruang spiritual. Langkah paling aman dan meyakinkan, meski ada tawaran lebih logis-realistis Bagaimana menghilangkan momok yang menghantui. Teori filsafat akan mengatakan, hanya ada satu jalan yakni menganggap si momok tidak penting. Bahwa hantu momok itu tidak ada. Jadi, cuekin aja…

Ya, cuek, atau dalam bahasa Jawa: ndableg! Logis realistisnya, manakala kita cemas dan takut dihantui momok virus itu, saat itu imunitas bahkan adrenalin kita turun drastis. Drop, bahkan kematian bisa menjemput, terutama bagi yang berusia lanjut di masa kecemasan dan ketakutan terhadap kematian.

Satu contoh nyata, saat Pemilu 2019, berapa Panitia Pemilu yang meninggal saat menjalankan tugas yang berat dan dihantui kecemasan dan ketakutan kalau ada yang salah. Konon jumlahnya mencapai ratusan, hampir menyentuh angka satu juta jiwa melayang. Dan, sebagian besar mereka yang wafat di medan Pemilu, adalah yang berusia tua.

Atas momok virus Covid atau Delta, kita pun tidak bisa berhibur diri dengan cerita-cerita jin setan bekasakan. Apakah dengan demikian kita tengah diuji, untuk migrasi dari masyarakat tertinggal ke bangsa yang maju dan serba tahan banting. Lihat saja, bagaimana nanti generasi virus — bayi-bayi yang lahir di era pandemi — di masa mendatang.***[Luk)