Apakah engkau Monalisa, batinku, melukis Monalisa dalam gaya Jean Michel Basquiat. Seorang pelukis hitam yang memindah dominasi seni lukis klasik Eropa ke dunia pop art Amerika. Aku torehkan garis dan warna, dalam wajah tosca di permukaan bantal, kota bercahaya dingin. Garis tak beraturan, serupa rautmu saat matahari hanya menggoret di balik gorden. Lalu pulasan warna, sewarna dinding yang menyimpan umpatan tentang anjing. Selebihnya racauan televisi yang kita biarkan, dan kanvas memang hanya milik kita berdua, Mona.
Bagai Basquiat menggelandang di kangkangan New York, aku memulai mencoret grafiti pada dinding kotamu. Apakah kau ingat, anak-anak punk yang tadi kita saksikan langkah bisunya di bawah terik matahari. Bukankah mereka mungkin anak-anak kita yang menanti sebuah kelahiran sewajarnya, dari perutmu, rahim ibu, dan lorong panjang tak berujung. Mungkinkah mereka tengah berlibur, dan kita berhibur ala bohemian tak kenal waktu. Di volder, fly over, kita mencari kegelapan segelap malam tanpa bulan, lalu kita mabok dalam warna hitam sebagai back ground.
Kemarin, bersama para penyair jalanan, kita membaca puisi tentang Tambak Gugat. Tambakmu yang diurug, untuk pembangunan tol lintas lapangan terbang yang telah dibangun sebagai bandara internasional. O, kita merasa terbang di permukaan kanvas tanpa pigura, melupa bago dan barisan keamanan yang menghalau demo. Bukankah yang tengah kita bela adalah milik kita, bersama rahayat, demi hajat hidup, ya hidup kita, Mona.
Tiba-tiba kamu tertawa.
“Apanya yang lucu?”
Jebul kamu ingat, saat di volder, seorang kanak pengamen dengan bas betot tong sabun mendendangkan lagu tentang urban. Lalu kau menirukan dengan suara di dada…..
Jangan pergi hari hujan
Jangan pergi jadi urban…
O, bukankah itu lagu hidup kita, Mona.
* * *
KAU memukul genderang bertalu, di antara unjuk rasa menchaos. Di bawah terik matahari kampung coklat, keringat berleleran, napas tersengal, tapi kita mesti terus maju. Menerjang pasukan keamanan, banyaknya sepulun kali. Tidak ada yang kalah, tidak ada menang, karena kita sama rahayat. Kita mafhum, mereka hanya menjalankan tugas. Berseragam, bersepatu larsa, bertameng, bersenjata. Senjata kita musik dan puisi, lalu pekikmu membayang.
Maju!
Serang!
Terjang..!
“Seperti puisi si binatang jalang saja.”
Sesudah itu kita akan ngobrol ngalor ngidul di markas seni. Tentang mengapa sastra tidak bicara soal derita lingkungan. Tentang tanah sejengkal di desa nelayan yang tidak bisa dipertahankan. Tentang napas hidup orang kecil, yang terkalahkan oleh pembangunan proyek raksasa demi pintu dunia terbuka. O, pintu kita masih tertutup, Mona. Dan kau masih bertanya, adakah makan siang bersama. Juga mereka akan makan nasi kotak, tanpa melepas pakaian dan sepatu. Sedangkan kita, kita, bebas merdeka, telanjang pun.
Adakah sarapan pagi ala kampung, lima ribu sudah bikin puas. Aku puas, kamu puas, apalagi yang mesti kita cari. Hidup ini terlalu sederhana bagi penjual sarapan pagi, pekerja malam, atau saudara yang bergegas menjemput kerja siang hingga sore. Demi sarapan pagi, makan siang, hingga makan malam sambil ngobrol di pos ronda. Apakah kita akan berjaga hingga pagi, Mona.
Garis ngawur, dan warna kurangajar Basquiat masih kurang kuat. Kita tegaskan lagi dengan warna kontras dan gambar benda-benda demo: genderang, sepatu, tameng, pentungan. Batu dan kawat berduri. Kalau perlu ditambah kata-kata, seperti umpatanmu tentang penguasa.
* * *
KITA masih bertahan di sini, Mona. Di ruang antara mimpi dan kenyataan, air mineral dan kamarmandi. Kau heran mengapa aku terus berdiri, “seperti tugu muda saja,” katamu mengingatkan perang lima hari. Bukankah kita memang sedang bertempur, kuasa yang di pengadilan kolonial selalu memenangkan penguasa. Walau tampaknya juga tak menyalahkan rakyat, tapi kita belum kalah, Mona.
Tidak ada yang kalah di antara kita, meski pada gilirannya kau mengaku kalah. Itulah warna terakota yang aku torehkan, sebelum mengakhiri lukisanmu, lalu tandatangan di sudut kanvas. Selesai.