Kasus pembunuhan berantai oleh Marybeth Tinning mematahkan mitos bahwa laki-laki lebih cenderung membunuh.
BARISAN.CO – Pembunuhan berantai adalah salah satu bentuk pembunuhan berganda. Istilah ini mulai diperkenalkan pada tahun 1980-an, ketika Biro Investigasi Federal AS (FBI) mulai membedakan berbagai bentuk pembunuhan ganda.
Pembunuhan berantai didefinisikan dengan pembunuhan yang melibatkan pembunuhan dengan banyak korban dalam peristiwa terpisah selama periode tertentu. Makna periode tertentu dapat diartikan sebagai periode pendingan di mana pelaku kembali ke rutinitas normal, umumnya taat hukum, sebelum melakukan pembunuhan berikutnya.
Motif pembunuh berantai laki-laki seringkali adalah seks, sedangkan perempuan paling mungkin membunuh demi keuntungan finansial, biasanya menargetkan seseorang yang akrab dengan mereka, menurut studi baru.
Seorang peneliti dan penulis di Penn State University, Dr. Marissa Harrison mencatat, perempuan cenderung membunuh lebih banyak orang yang rentan, termasuk orang tua, orang sakit, atau anak-anak, dan dua kali lebih mungkin membunuh pasangannya.
Sementara, motif laki-laki seringkali berbeda-beda, biasanya membunuh untuk kepentingan seksual. Mereka lebih mungkin menargetkan orang asing dan menguntit korbannya.
Perempuan biasanya klinis dengan metode pembunuhannya karena mereka bertujuan untuk membuat kematian terlihat sealami mungkin, entah dengan diracun atau membuat korban sesak napas. Sementara, laki-laki cenderung tidak menggunakan racun, tetapi sering membunuh korbannya dengan membuatnya sesak napas juga.
“Membunuh melalui keracunan atau sesak napas, dan metode tersebut akan meniru kematian alami bagi orang-orang yang tidak benar-benar mencurigainya,” kata profesor psikologi di Penn State University tersebut.
Dalam buku barunya, “Just as Deadly: The Psychology of Female Serial Killers” disebutkan, perempuan yang melakukan kejahatan ini seringkali telah menikah setidaknya sekali, sedangkan pria cenderung melajang saat melakukan kejahatan pertama. Pendidikan disebut-sebut juga berperan.
Pelaku perempuan lebih cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan laki-laki biasanya memiliki pendidikan SMA atau lebih rendah. Pembunuh berantai perempuan, sering kali kuliah atau universitas, dengan hampir 40 persennya adalah perawat atau petugas kesehatan.
“Dia mungkin berkulit putih, menikah setidaknya sekali, atau mungkin berkali-kali. Berusia sekitar 20 atau 30-tahunan, kemungkinan kelas menengah, seorang Kristen, memiliki kecerdasan rata-rata, dan memiliki daya tarik rata-rata atau di atas rata-rata,” lanjutnya.
Harrison menambahkan, pembunuh berantai perempuan mungkin memiliki riwayat pelecehan atau krisis baru-baru ini dan minimal satu pembunuhan akan terjadi di daerah pinggiran kota.
Penelitian tim Harrison menunjukkan, pembunuh berantai perempuan dan laki-laki kemungkinan besar memiliki penyakit mental.
“Untuk laki-laki, sangat mungkin; untuk perempuan, penelitian kami menunjukkan sekitar 40% menunjukkan bukti penyakit mental. Jika contoh penyakit mental dan pelecehan anak terus muncul dalam sejarah pelaku perempuan ini, mungkin kesadaran dan pengobatan penyakit mental dapat mencegah beberapa kematian (korban) di masa depan,” jelasnya.
Martha Patty Cannon adalah contohnya. Dia membunuh pria, wanita, dan anak-anak serta menculik orang bebas dan menjual mereka sebagai budak di Amerika abad ke-19.
Penganiayaan terhadap anak-anak sangat mengejutkan karena dia biasa memukul anak-anak sampai mati dengan batang kayu. Suatu kali, dia melemparkan seorang anak ke dalam api hanya karena mereka bersin di dekatnya. Menoleh ke belakang, dia pernah diperkosa oleh ayahnya selama akhir 1700-an hingga awal 1800-an. Akibatnya, ayahnya digantung.