Aku sangat marah, hatiku mendogol. Tak tahan melihat anakku yang kelas 3 menangis karena ingin mendapatkan raportnya. Aku hanya ingin melihat anakku tersenyum sejenak dan berbahagia melihat raport miliknya seperti teman temannya.
Aku tak ingin orang menaruh belas kasihan padaku. Aku tak ingin disantuni. Aku tak butuh itu. Itu prinsip hidupku.
Tapi aku sangat kecewa pada guru anak ku. Bukan karena tak dapat mengambil raport, tapi kenapa Wali Murid anakku itu tak sedikitpun menunjukkan sikap bijaknya. Aku lebih kecewa lagi, kenapa harus keluar kata kata yang menyakitkan itu. Padahal dia bisa saja diam tak harus menyakiti perasaan orang lain.
Aku memang hidup menderita. Tapi aku menerimanya dengan lapang dada. Aku selalu mengingat petuah almarhum ibuku ” nduk, urip iki mung sak dermo nglakoni, lakonono kanti ikhlas yo nduk” ( hidup ini hanya sekedar menjalani, jalanilah dengan ikhlas ya nak”).
Begitulah petuah ibuku, tapi dalam gemuruh hatiku, aku tak ingin melihat anakku menderita, aku tak ingin melihat satupun anak anakku kelak jadi PRT sepertiku. Aku selalu sisipkan dalam doa sebelum tidur malam ku.
Jakarta, 17 Desember 2022
Suroto
Rakyat Jelata
CATATAN PENTING
Ini adalah kisah nyata dari seorang Pekerja Rumah Tangga ( PRT). Nama dalam kisah ini bukan aslinya. Tulisan ini sengaja penulis dedikasikan untuk memberikan kesadaran kepada kita semua tentang arti penting keberadaan Undang Undang Pekerja Rumah Tangga ( RUU PRT) yang sedang diperjuangkan oleh Jaringan Pembantu Rumah Tangga ( Jala PRT) dan teman teman masyarakat sipil lainya agar segera disyahkan.
Tulisan ini juga merupakan ajakan kepada seluruh masyarakat untuk memberikan perhatian kepada Pekerja Rumah Tangga. Memberikan dukungan kepada mereka dalam bentuk apapun. Meghentikan semua kisah derita mereka.
Tulisan ini juga merupakan ajakan kepada masyarakat untuk tidak memilih partai dan calon calon anggota DPR nya serta Calon Presiden, Gubernur serta Bupati / Walikota yang tidak menunjukkan dukungan kepada pengesahan RUU PRT dan membela nasib mereka.