“Betul! Kalau melihat tiang-tiang kecil yang ditancapkan itu, tampaknya jalan tol itu akan menerjang kawasan tegalan serta pemukiman warga desa kita,” jawab Kabul dengan nada geram.
“Bukan hanya tegalan. Jalan itu juga akan menerjang bak penampung air dari mata air!” jawab Kasdi sambil tangannya menunjuk sebuah bendera yang tertancap di sebelah kanan dan kiri bangunan penampung air bersih yang digunakan sebagai sarana MCK warga desa.
“Orang-orang kota itu memang keparat! Lha kalau tegalan-tegalan itu diterjang jalan tol, memangnya warga suruh bertani di atas jalan tol gitu?” tanya Kabul pada Kasdi masih dengankemarahannya. Ia tahu Kasdi juga tak mungkin dapat menjawab pertanyaannya.
“Ndasmu atos! Aku juga tidak tahu!” jawab Kasdi sambil menggerutu.
“Kita harus memberitahukan kepada warga desa. Kita harus menolaknya!” sahut Kabul bersemangat.
“Betul! Kalau sampai tegalan warga dijadikan jalan Tol, lha terus kita suruh kerja apa?”
“Nyapu jalan Tol!” jawab Kasdi sekenanya yang selanjutnya disusul dengan tinju Kabul yang diarahkan ke lengan Kasdi. Hampir saja Kasdi terjerembab ke samping jika tidak segera meraih batang pohon yang tumbuh di sebelahnya.
“Orang-orang kota itu memang keparat tengik!” umpat Kabul sekali lagi masih dengan nadanya yang geram.
Dugaan Kabul dan Kasdi ternyata benar. Keesokan paginya seluruh warga desa diminta untuk berkumpul di balai desa. Sementara itu di balai desa telah berkumpul pula pak Camat, Pak Kades, komandan polisi dan beberapa orang dari kota. Setiap warga yang hadir diberi amplop berisi uang dan dijamu makan minum sepuasnya.
Tak sedikitpun warga desa yang menaruh curiga dengan undangan tersebut. Bahkan mereka tampak gembira ketika mengintip isi amplop yang diterimanya. Namun tatkala Pak Kades menyampaikan bahwa tegalan mereka akan diterjang jalan tol, spontan suasana menjadi ricuh.
Sebagian besar warga desa menolak rencana pembangunan jalan tol yang akan melintasi tanah warga. Sebagian yang lain masih bingung. Hanya beberapa orang saja yang langsung menyatakan setuju. Mereka yang setuju adalah keluarga Pak Kades yang tegalanya tidak terterjang proyek jalan tol tersebut.
“Kalau tegalan kami dijadikan jalan tol, terus kami disuruh kerja apa?” tanya Pariyem lantang. Suaranya bergetar menahan kesedihan sekaligus amarah.
“Jangan Khawatir! Ibu nanti akan kita beri ganti rugi. Dengan uang itu Ibu dapat membeli tanah tegalan di desa lain,” jawab Pak Camat ringan sekali bagai tak mengerti perasaan warga desa.