Scroll untuk baca artikel
Blog

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Orang-orang kota itu memang keparat tengik!” umpat Kabul sekali lagi masih dengan nadanya yang geram.

Dugaan Kabul dan Kasdi ternyata benar.  Keesokan paginya seluruh warga desa diminta untuk berkumpul di balai desa.  Sementara itu di balai desa telah berkumpul pula pak Camat, Pak Kades, komandan polisi dan beberapa orang dari kota.  Setiap warga yang hadir diberi amplop berisi uang dan dijamu makan minum sepuasnya. 

Tak sedikitpun warga desa yang menaruh curiga dengan undangan tersebut.  Bahkan mereka tampak gembira ketika mengintip isi amplop yang diterimanya.  Namun tatkala Pak Kades menyampaikan bahwa tegalan mereka akan diterjang jalan tol, spontan suasana menjadi ricuh. 

Sebagian besar warga desa menolak rencana pembangunan jalan tol yang akan melintasi tanah warga.  Sebagian yang lain masih bingung.  Hanya beberapa orang saja yang langsung menyatakan setuju.  Mereka yang setuju adalah keluarga Pak Kades yang tegalanya tidak terterjang proyek jalan tol tersebut.

“Kalau tegalan kami dijadikan jalan tol, terus kami disuruh kerja apa?” tanya Pariyem lantang.  Suaranya bergetar menahan kesedihan sekaligus amarah.

“Jangan Khawatir!  Ibu nanti akan kita beri ganti rugi.  Dengan uang itu Ibu dapat membeli tanah tegalan di desa lain,” jawab Pak Camat ringan sekali bagai tak mengerti perasaan warga desa.

“Apa Pak Camat bersedia menjamin bahwa di desa lain ada tegalan yang akan dijual?  Andai saja ada apakah kesuburannya sama dengan milik saya?” jawab Husni emosi.  Bagaimana Husni tidak emosi, kebun rambutan yang selama ini telah mencukupi kehidupan keluarganya tiba-tiba hendak diterjang oleh jalan tol.  Lelaki yang pernah menerima penghargaan sebagai petani teladan itu sudah belasan tahun mencurahkan waktu, tenaga, pikiran serta modalnya untuk membangun kebun rambutan seperti yang ia nikmati selama ini.

“Kami akan membeli tegalan-tegalan tersebut dengan harga tinggi.  Bahkan setiap batang pohon yang tumbuh di atas tegalan tersebut juga akan kami beri harga yang layak,” sambung Pak Kades berusaha menenagkan warga yang mulai tak terkendali emosinya.

“Pokoknya Kami tidak akan menjual sejengkalpun tegalan Kami!” sambung Tukini sambil menangis.  Janda beranak 3 yang sehari-hari bekerja membuat emping Melinjo itu tak dapat menahan kesedihannya.  Terbayang bagaimana repotnya dia nanti jika harus kehilangan pekerjaannya tersebut.  Meski pendapatannya pas-pasan, tetapi ia dapat berkumpul dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil setiap hari.  Perempuan itu tidak dapat membayangkan jika pada akhirnya nanti ia harus kerja menjadi pembantu rumah tangga di kota atau menjadi TKW di luar negeri.  Bagaimana dengan anak-anaknya nanti jika harus ia tinggalkan merantau demi sesuap nasi.

“Pak kades sebagai orang yang dituakan di desa tentunya harus melindungi kepentingan warga desa bukannya malah menjadi cecunguk orang kota yang jahat!”  Suara Darman terdengar keras sekali diantara cuitan warga.  Mendengar seloroh Darman yang sedemikian berani tersebut, warga pun bertepuk tangan tanda setuju.  Terlihat wajah Pak Kades merah padam menahan amarah sekaligus menahan malu karena telah dikatakan menjadi cecunguk orang kota.

“Saya tak sudi menerima amplop ini!  Bapak-bapak tak akan bisa menyogok kami, meski kami hanya orang kampung yang bodoh!” teriak Panut sambil melemparkan amplop yang tadi diterimanya.  Hampir saja amplop itu mengenai muka Pak Camat kalau saja orang tua itu tidak segera menghindar.  Lemparan amplop milik Panut itu semakin memicu kericuhan pertemuan tersebut.  Berkali-kali Pak Kades mengetuk-ngetuk meja menenagkan suasana.  Tapi hasilnya nihil.  Beberapa petugas Hansip juga masuk untuk menenagkan warga, namun upaya itupun sia-sia belaka.