Scroll untuk baca artikel
Blog

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Baiklah bapak ibu semua, Kami akan kaji ulang pembangunan jalan tol ini.  Kami semua sangat menghargai keberatan bapak dan ibu semua,” ucap Pak Komandan Polisi setelah Pak Kades dan Pak Camat gagal membujuk dan menekan warganya.  Mendengar perkataan Komandan Polisi tersebut, spontan warga desa langsung bertepuk tangan gembira.  Pertemuan hari itu boleh dibilang gagal total.  Warga pulang ke rumahnya masing-masing dengan puas karena dalam pikiran mereka proyek jalan tol itu dibatalkan.

“serahkan saja urusan ini kepada Saya!” ucap Komandan Polisi tersebut setelah tak seorangpun warga desa tersisa di balai desa.

“Bagaimana caranya Pak!  Kita sudah dikejar-kejar oleh Pak Menteri,” ucap lelaki berbaju putih yang berasal dari kota tersebut.

“Tenang saja!  Itu urusan sepele bagi Saya,” jawab Komandan Polisi tersebut sembari menyalakan rokoknya.  Setelah beberapa hisapan, barulah Komandan Polisi itu bercerita tentang bagaimana ia akan menaklukkan keras kepalanya warga desa tersebut.  Pak Camat, Pak Kades dan lelaki dari kota itu hanya tertawa terbahak-bahak ketika mendengarkan paparan Komandan Polisi berperut bucit tersebut.  Dalam hati mereka memuji kelicikan Komandan Polisi yang tak pernah sedetikpun lepas dari batang rokok tersebut.

Hari berganti minggu dan minggupun berganti bulan.  Warga desa seolah telah lupa pada proyek jalan tol yang akan menerjang desa mereka.  Mereka pikir proyek itu benar-benar telah dibatalkan.  Tak seorangpun memikirkan keberadaan proyek tersebut termasuk Kasdi dan Kabul yang getol mempengaruhi warga untuk menolak proyek tersebut.

Pagi itu Selasa kliwon bulan Sapar.  Warga desa tumplek blek di pekuburan keramat untuk upacara merti desa.  Sebelum acara dimulai tiba-tiba saja Ki Sadur atau yang biasa disapa kamitua desa itu angkat bicara.  Suaranya terdengar serak dan berat.  Konon kabarnya lelaki tua bangka itu sudah seringkali sakit-sakitan.

“Sedulur-sdulurku semua, tahun ini mungkin adalah tahun terakhir aku mengantarkan kalian dalam upacara merti desa,” ucap lelaki yang sudah bungkuk badannya tersebut.  Sembari berucap demikian lelaki yang selalu berpakaian hserba hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya.  Sepintas seperti sebuah kotak persegi empat yang dibungkus dengan kain kafan yang warnanya sudah tidak putih lagi.  Mendengar perkataan Ki Sadur, warga desa yang hadir di pekuburan keramat tersebut hanya terlihat saling pandang tanpa dapat berkata-kata barang sepatahpun.

“Selanjutnya pusaka desa ini akan aku serahkan kepada penggantiku.  Selama aku menjadi Kamitua desa tak sekalipun aku berani membuka bungkusan ini.  Sebab menurut para tetua terdahulu yang bboleh membuka bungkusan ini hanyalah Kamitua penggantiku,” ujarnya kembali sambil berjalan menuju Kasdi yang duduk bersandar pada salah satu nisan kuburan.

“Sepeninggalku kelak, aku berharap sedulur-sedulur semua tetap harus mituhu dengan apa yang disampaikan oleh Kamitua penggantiku.  Karena pada dasarnya seorang Kamitua adalah wakil dari para leluhur kita,” ucap Ki Sadur sambil terbatuk-batuk.

“Dan menurut wangsit yang aku terima, Kasdilah orang yang ditunjuk oleh para leluhur desa untuk menggantikanku sebagai Kamitua desa sekaligus merawat pusaka desa ini,”  Mendengar perkataan Ki Sadur Kasdi hanya dapat terbengong-bengong.  Ketika ia menatap satu persatu wajah warga desa, tatapan mata mereka seperti memberi isyarat pada Kasdi untuk menerima saja keputusan Ki Sadur tersebut.  Dan Kasdipun tak mampu menolak ketika Ki Sadur menyerahkan bungkusan kain kafan tersebut kepadanya.