Scroll untuk baca artikel
Blog

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Menurut hitungan tahun yang dibuat oleh sesepuh desa, tahun ini kita akan memasuki apa yang dikatakan dengan taun petheng.  Yaitu tahun-tahun sulit.  Namun begitu jangan khawatir.  Sesepuh kita telah memberi jalan keluar.  Menurut Ki Kamitua sebelumku, Sesepuh kita telah menuliskan jalan keluarnya di dalam pusaka desa tersebut,” celoteh Ki Sadur lagi.

“Silahkan pusaka itu dibuka Pak Kamitua.  Sekarang ini Engkaulah tetua kami,” perintahh Ki Sadur kepada Kasdi

“Ki Sadur saja yang buka!” jawab Kasdi sambil menyerahkan kembali bungkusan kain kafan itu kekpada Ki Sadur.

“Tidak!  Yang sekarang menjadi Kamitua adalah Nak Kasdi,” ujar Ki Sadur lembut.  Sekali ini lagi-lagi Kasdi menatap satu-persatu wajah warga desa yang memenuhi pekuburan kuno tersebut.  Seperti sebelumnya, mata-mata itu seperti memberi isyarat kepada Kasdi agar menuruti saja ucapan Ki Sadur.

Tangan Kasdi terlihat gemetaran ketika mulai membuka bungkusan kainkafan tersebut.  Benar dugaan kasdi.  Di dalam kain tersebut terdapat sebuah kotak kayu.  Mungkin kotak kayu tersebut terbuat dari kayu cendana.  Baunya sedemikian wangi. 

Tak terasa bulu roma Kasi meremang ketika mencium wanginya.  Beberapa kali mulut Kasdi berkomat-kamit ketika ia hendak membuka kotak kayu tersebut.  Detik kemudian warga desa seperti menahan nafas ketika Kasdi mulai membuka kotak kayu tersebut.  Ternyata di dalam kotak tersebut terdapat sebuah keris kecil atau  biasa disebut dengan patrem.  Selain keris terdapat sebuah lembaran daun lontar dengan tulisan arab pegon

Entah karena kebetulan atau memang daya magis pusaka desa tersebut, tiba-tiba saja angin bergemuruh menerjang pohon-pohon yang tumbuh di pekuburan kkuno tersebut.  Suaranya bergemuruh mempermainkan dedaunan.  Wajah warga desa terlihat cemas namun begitu tak satupun dari mereka berani meninggalkan tempat tersebut.  Ketika angin semakin besar, Ki Sadur segera berdiri dari duduknya.  Tangannya disilangkan di depan dadanya.  Mulutnya terlihat komat-kamit merapal mantra.  Selanjutnya ia duduk bersila kembali sambil menepukkan telapak tangannya ke tanah sebanyak tiga kali.  Ajaib!  Anginpun tiba-tiba mereda.

Taun peteng itu sudah datang!  Barusan ia dibawa oleh angin kulon tadi,” ucap Ki Sadur dengan nada sedih.

“Apa artinya taun peteng itu Ki?” tanya Pak Kades hati-hati.    Lelaki itu tampaknya juga dicekam kecemasan oleh berita yang dibawa oleh Ki Sadur.

Taun atau Mangsa peteng itu artinya tahun-tahun paceklik dan pageblug bagi warga desa.  Ini semua adalah suratan takdir desa kita.  Namun jangan khawatir, sesepuh desa kita telah memberi petunjuk agar kita terhindar dari takdir mangsa peteng ini.” Jelas Ki Sadur sekali lagi.  Mendengar penjelasan Ki Sadur, warga desa terlihat lega.  Meski harus melewati masa paceklik tapi mereka yakin akan dapat meloloskan diri dari penderitaan tersebut. 

“Bacalah wasiat yang tertulis di daun lontar itu Pak Kamitua!  Biar kami semua dapat mendengarkan nasehat yang telah ditulis oleh leluhur-leluhur kita itu,” desak Ki Sadur kepada Kasdi.  Masih dengan tangan yang gemetaran, kasdi menjumput lembaran daun lontar tersebut.  Tak dinyana ternyata Kasdi terpengaruh juga oleh berita Ki Sadur.  Dibacanya tulisan itu dengan pelan-pelan agar semua yang hadir dapat menyimaknya. 

amapagi mangsa peteng.  Nora bakal peteng amargi bungah ketekan dokar mbancik manggar,” begitulah bunyi tulisan yang tertera di dalam daun lontar tersebut.  Berkali-kali Kasdi dan warga desa garuk-garuk kepala karena tak sedikitpun mengerti apa arti kalimat yang tertulis di daun lontar tersebut.