Scroll untuk baca artikel
Blog

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Saya tidak tahu artinya Ki!” ucap Kasdi mewakili perasaan warga desa yang ada di pekuburan keramat tersebut.

“Apakah kalian akan mematuhi isi seratan pusaka desa ini jika nanti aku sampaikan artinya?” tanya Ki Sadur seperti was-was.  Lagi-lagi warga desa menatap pada Kasdi.  Tatapan itu seolah memberi isyarat kepada Kasdi agar Kasdi memberi persetujuan.

“Sekali lagi saya tanya, apakah warga desa akan mematuhi apa yang telah diseratkan oleh sesepuh desa kita ini?” tanya Kasdi mengulangi ucapan Ki Sadur dengan nada sedikit bergetar.  Dalam hati sebenarnya ia tidak begitu tertarik dengan isi seratan tersebut.  Baginya itu semacam takhyul belaka.  Namun kini ia adalah seorang Kamitua.  Ia harus momong warga desa.  Bahkan kini kedudukannya lebih tinggi daripada kepala desa.  Namun begitu ia harus tunduk pada paugeran kuno yang kadang tidak masuk akal itu.

“Baik Ki!  Kami semua akan melaksanakan semua hal yang tertulis di dalam serat tersebut,” ucap Kasdi berat.

Beberapa kali Ki Sadur menarik nafas panjang sebelum membuka mulutnya.  Wajah-wajah warga desa terlihat tegang menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ki Sadur.

“Taun peteng itu artinya tahun penuh paceklik.  Nora bakal peteng itu artinya bahwa kita tidak akan mengalami paceklik jika bungah ketekan dokar mbancik manggar,”  Sampai di situ terlihat Ki Sadur menarik nafas panjang kembali.  Suasana semakin tambah senyap menunggu kalimat berikutnya dari ki Sadur.

“Tak akan susah jika kita semua berbahagia menyambut datangnya orang-orang dengan kendaraan besar yang melintas desa kita,”  Sampai di sini warga desa belum juga mengerti apa yang dimaksud oleh Ki Sadur.  Karena kalau diartikan harafiah dokar mbancik manggar itu artinya bahwa dokar yang berjalan di antara bunga kelapa.  Tentu saja itu adalah hal yang sangat mustahil dapat dimengerti oleh alam kenyataan sehari-hari.

“Dokar itu artinya kendaraan.  Sementara mbancik manggar itu artinya berjalan di jalanan yang dibangun setinggi dengan pohon-pohon kelapa milik warga desa,” ujar Ki Sadur terbata-bata.  Kalimat terakhir Ki Sadur ini sangat terang artinya bagi warga desa tanpa terkecuali dengan Kasdi.  Ketika Kasdi hendak angkat bicara, tiba-tiba saja tubuh Ki Sadur telah roboh.  Suasana pekuburan pun mendadak gaduh.  Dan sedetik kemudian warga desa telah terlihat menggotong tubuh Ki Sadur Pulang.